PAI Dalam Konteks Perbedaan Pemahaman Agama
Latar Belakang
Almumtaz.WIKI - Perbedaan Pemahaman Agama islam hadir sebagai
rahmatallil 'alamin, kehadirannya menyatukan yang saat itu terpecah,
mendamaikan diantara perselisihan, membawa kabar kembira dan membawa sebuah
peringatan akan adanya akhirat. Hadir membawa sebuah tata aturan atau syari’at
yang akan dibebankan bagi setiap umat muslim.
Agama Islam diturunkan
melalui seorang yang teipilih, yakni Nabi Muhammad SAW di kota Makkah. Sebuah
kota yang terletak ditengah-tengah garis perjalanan dagang. Pedagang-pedagangnya
pergi keselatan membeli barang-barang yang datang dari Timur, yang kemudian
mereka bawa ke Utara untuk dijual di Syria.
Dari dagang transit ini
Kota Makkah menjadi kaya, dan proses transit ini mengakibatkan pula banyaknya
komunikasi antara masyarakat Makkah dan penduduk luar Makkah, dalam
sejarahpundisebutkan bahwa Makkah sangat kaya akan budaya, sehingga corak pemikirannya pun juga beragam.
Agama Islam yang hadir
dengan adanya syari’at, mengatur berbagai hal mengenai kehidupan bukan hanya
masalah hablumminallah namun juga ' hablum
minannaas,pembahasan yang menyeluruh dalam syari’at Islam ini tak dapat ingkari
pula adanya
perbedaan-perbedaan
pemahaman dan aplikasinya. Bahkan perbedaan ini sudah muncul sejak masa
umm&t muslim generasi pertama, yakni para sahabat pada zaman Rasulullah SAW. Para sahabat rasulullah SAW
sendiri dalam memberikan suatu fatwa pernah berlainan pendapat antara yang satu
dengan yang lain, namun perbedaan pendapat sekali-kali tidaklah harus
merintangi bersatu padunya hati dengan sikap saling mengasihi dan
tolong-menolong dalam kebaikan. Perbedaan pendapat sekali-kali tidak
menghidangi tercakupnya kita semua dalam pengertian Islam yang amat luas dengan
semua pembatasannya yang utama itu.
Dalam makalah ini akan
membahas lebih lanjut mengenai pendidikan agama islam dalam konteks perbedaan
pemahaman Agama, sebagaimana kita ketahui dari perbedaan-perbedaan yang ada
dalam memahami teks atau nash al qur’an dan sunnah kemudian lahirlah beberapa
aliran-aliran teologi dan beberapa madzhab yang berkembang hingga saat ini.
PEMBAHASAN
(Internal)
Perbedaan pendapat atau ,
secara bahasa ikhtilaf diambil dari kata fi’il madhi kemudian berwazan , jika
di tashrif, bentuknya adalah (iqtilafu- yahtalifu-ihtilafan) sebagaimana
disebut dalam kamus. Perbedaan pendapat dalam pemahaman terhadap agama sudah
berlangsung sejak zaman Rasulullah, semisal saja perbedaan pendapat yang pernah
terjadi antara Umar bin Khaththab dan Abu Bakar, antara Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas.
Mengenai perbedaan ini kemudian dijadikanlah sebuah ilmu dalam fiqh yang
disebut dengan fiqh ikhtilaf, yakni perbedaan pendapat yang sudah dikenal sejak
abad terbaik umat, yakni masa para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab.
Perbedaan ilmiah yang terjadi dikalangan mereka tidak pernah menimbulkan dampak
negatif samasekali. Kealphaan dalam menekuni fiqh ikhtilaf menyebabkan kita
saling bermusuhan hanya lantaran masalah-masalah kecil atau tanpa sebab sama
sekali.
Perbedaan dalam pemahaman agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak
bisa kita hindari, seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia mampu menjadikan
agama ini satu bentuk dan sisi pemahaman yang tidak memungkinkan adanya
perbedaan dan tidak memerlukan . Seandainya Allah menghendaki kesepakatan kaum muslimin, dalam
segala hal, sekalipun menyangkut masalah-masalah Juru’ atau yang tidak asasiyah, niscaya Dia menurunkan
kitabnya dalam bentuk nash-nash yang semuanya muhkamat dan pasti penunjukkannya
sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan pemahaman dan penafsiran. Akan tetapi
Allah menghendaki agar didalam kitabNya ada yang muhkamat dan ada pula yang
mutasyabihat-sebagian kecil darinya. Bagian-bagian yang mutasyabihat ini,
disamping sebagai ujian, juga merupakan pendorong akal untuk melakukan ijtihad
(bekeija secara - maksimal).
Dalam perjalanannya
peerbedaan pemahaman ini melahirkan beberapa madzhab fiqh, yang berkembang dan
masih berlaku hingga sekarang. Beberapa diantaranya ialah:
1.
Madzhab
Hanafi
Madzhab Hanafi
mendasarkan pada pendapat Abu Hanifah atau lengkapnya Abu Hanifah an Nukman bin
Tsabit bin Zufi At Tamimi. Lahir di Kuffah pada tahun 80 H/ 699 M dan wafat 150
H/ 767 M. Dia hidup pada masa pemerintahan Al Mansur dari dinasti Abbasiyah. Para
sahabat yang pernah menjadi gurunya adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa,
Abu Tufail Amir, dan yang terlama Hammad bin Abu Sulaiman. Sejak masih kanak-kanak Abu Hanifah telah
mengkaji dan menghafal Al Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang- ulang
bacaannya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap teijaga dengan baik dalam
ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung
ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al Qur’an
beliau sempat berguru kepada Imam Asin,
seorang ulama terkenal pada masa itu.
Dalam berbagai riwayat
Abu Hanifah sering menceritakan sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar dalam
madzhabnya. Al Khathib dalam kitabnya yang berisi sejarah hidup Abu Hanifah
menceritakan bahwa imam Abu Hanifah pernah berkata, “ dalam menggali hukum, aku
mengambil Al qur’an, jika tidak aku temukan maka aku mengambil dari hadits.
Jika pada keduanya tidak ada maka dari perkataan para sahabat Nabi Saw, dalam
pengambilan ini aku memilih salah satu pendapat diantara mereka yang aku kehendakidan
meninggalkan pendapat lainnya, aku tidak keluar dari satu pendapat sahabat
karena mengikuti pendapat sahabat lain. Kemudian apabila permasalahan yang aku
cari sampai jawabannya ternyata sampai pada pendapat ibrahim, Asy syaibiy,
IbnSirrin, alhasan, ‘Atha’, danSa’idibn alMusayyab (mereka adalah perawi hadits
yang adil), dan hukum ; permasalahn tersebut hasil ijtihad mereka maka aku
melakukan ijtihad sendiri sebagaimana mereka.
Al Muwaffaq al Makiy
menyatakan bahwa, pendapat Abu Hanifah diambil dari orang yang dapat dipercaya
dan jauh dari pengecut, serta dengan mempertimbangkan kondisi sosial b.
mmasyarakat dimana beliau berada. Sedangkan dalam menyikapi tradisi masyarakat
yang dianggap baik beliau memprosesnya dengan menggunakan qiyas, apabila dalam
tradisi tersebut qiyas tidak dapat digunakanmaka beliau menyambungkannya dengan
istih jika ternyata istihsan juga tidak dapat diterapkan maka beliau mengambil
hukum.
dengan merujuk pada
kebiasaan umat islam. Disamping itu Abu Hanifah hanya menyampaikan hadits yang
terkenal (masyhur) dan telah disepakati. Dengan hadits yang memiliki bobot
seperti ini terkadang beliau memainkan teori analogi (Qiyas). Namun jika
ternyata giyas tidak dapat diterapkan, maka beliau menyambungkannya dengan
istihsan. Hasil hukum permasalahan dari sumber apapun asalkan sesuai, maka
beliau gunakan.
Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa dasar- dasar pegangan madzhab Hanafi ialah:
a. Al-
Qur’an
Dalam memahami Al Qur’an, Ulama madzhab
Hanafi tidak i hanya melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih
mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘ aam dan khas ayat al
qur’an tersebut. Ayat-ayat Al Qur’an yang berpautan dengan hukum, selain
diteliti dari segi ‘amm dan khas nya, juga harus ada usaha karena silatnya mujmal
atau agak tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil atau sifat-sifatnya
muthlaq memerlukan taqyid. Oleh karena, ulama Hanafiah berpendapat bahwa sunnah
bisa menjadi bayan bagi Al qur’an. yang Bayan Al Qur’an menurut Hanafi terbagi
menjadi 3 bagian :
b. As
sunnah
Tentang dasar yang kedua ini, madzhab
Hanafi sepakat mengamalkan As Sunnah yang
dan shahih. Hanya saja imam hanafi sebagaiana ulama hanafiah, agak keras
menetapkan syarat syarat yang dipergunakan untuk menerima hadis ahad.
c. Fatwa
sahabat
Dalam mendasarkan suatu hukum Imam Abu
Hanifah juga begitu menghargai pendapat para sahabat. Jika terdapat suatu
permasalahan, maka dia akan mengambil salah satu pendapat sahabat, dan jika
tidak ditemukan ia berijtihad dan mengikuti pendapat tabi’in.
d. Ijma’
Ulama Hanafiah menetapkan bahwa ijma’ itu
dijadikan sebagai hujjah. Mereka tidak membedakan antara macam-macam ijma’.
Oleh karena itu, apapun bentuk kesepakatan yang datangnya dari kesepakatan para
ulama/ masyarakat, hal itu berhak atas penetapan suatu hukum dan sekaligus
menjadi hujjah hukum,
e. Qiyas
Qiyas ini digunakan ketika tidak ditemukan
dasar hukumnya dalam Al qur’an, sunnah, pendapat sahabat, dan ijma’.
f. Istihsan
Istihsan artinya memandang dan meyakini
baiknya sesuatu. Menurut Syatibi, istihsan adalah memberlakukan kemaslahatan
parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum atau mendahulukan maslahah mur
salah dari qiyas.n Salah satu contoh penetapan hukum dengan istihsan
diantaranya: pengalihan hukum berdasarkan nash hadits, contohnya dalam kasus
seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum karena lupa. Menurut giyas,
orang tersebut batal puasanya dan harus berbuka, namun berdasarkan istihsan
orang tersebut tetap boleh melanjutkan puasanya berdasarkan hadits “bersabda
Rasulullah saw: barang siap yang lupa sehingga ia makan dan minum padahal ia
sedang berpuasa, maka hendaklah ia melanjutkan puasanya, bahwasannya Allah
telah memberinya makanan dan minuman
g. Urf
‘Urf ialah adat kebiasaan, dalam
batas-batas tertentu diterima sebagai sumber syari’at bagi madzhab Hanafi.
Menurut madzhab Hanafi, ‘urf dapat melampaui qiyas, tetapi tidak dapat
melampaui nash al qur’an dan as sunnah.
2.
Madzhab
Maliki
Madzhab Maliki merupakan aliran fiqh yang
menjadikan pendapat imam Malik bin Anas sebagai acuannya. Imam Malik dilahirkan
di Madinah, pada tahun 93 H. beliau berasal dari kabilah Yamaniah. Sejak kecil
beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak
kecil itu pula beliau telah hafal Al Qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya
sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu. Imam
Malik dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa untuk
terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan
ulama lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan,
bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang
yang
biasa diajak bermusyawarah, untuk mengeluarkan suatu fatwa. Beberapa dasar hukum Imam Malik yakni:
a. Al
Qur’an. Dalam pandangan Imam Malik, kedudukan Al qur’an adalah atas semua dalil
hukum. Ia menggunakan nash sharih (jelas) dan ti dak menerima takwil.
b. As
sunnah
Imam Malik mengambil sunnah yang
mutawattir, masyhur, khobar ahad (sebagian besar mendahulukan hadits ahad
daripada qiyas), serta mengunakan hadits munqathi’ dan mursal selama tidak
bertentangan dengan tardisi orang-orang Madinah
c. Amal
Penduduk Madinah
Imam Malik memegangi tradisi penduduk
Madinah sebagai hujjah (dalil) hukum karena amalannya dinukil langsung dari
Nabi Saw.
d. Fatwa
Sahabat
Sebagaimana Imam abu Hanifah, Imam Malik
juga menjadikan fatwa sahabat sebagai dasar hukum, bahkan Imam Malik mengambil
juga fatwa para kibar at tabi’in meskipun derajatnya tidak sampai fatwa
sahabat.
e. Ijma’
Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya
pada ijma’. Ijma’ ahli Madinah pun dijadikan hujjah dengan syarat amalan
Madinah tersebut berdasarkan al qur’an dan sunnah bukan ijtihad (fatwa).
f. Qiyas,
Maslahat Mursalat, dan Istihsan
Secara umum Imam Malik menggunakan
maslahat meskipun tidak ada nash atau hadis nabi saw. Karena tujuan syara’
adalah untuk kemaslahatan umat manusia dan setiap pasti mengandung mashlahat.
g. Adz-Dzara'i
Sadz Adz Dzarai, dasar istinbath yang
sering dipakai oleh Imam Malik, maknanya adalah menyumbat jalan. Wasilahnya haram,
haram. Wasilahnya halal, halal. Wasilah kepada kemunkaran haram dan harus
dicegah.
3.
Madzhab
Syafi’I
Madzhab Syafi’I mengambil pendapat
Muhammad ibn Idris Asy Syafi’I sebagai rujukannya. Beliau dilaiiirkan
dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu
Hanifah. Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang
miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya,
beliau bahkan giat mempelajari hadits
yang banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga
telah hafal al qur’an.
Pendapat-pendapat Imam Syafi’I mulai
dikenal tatkala dia dipanggil Khalifah Harun Ar Rasyid ke Baghdad. Khalifah
mendengar kehebatan Imam Syafi’I dari orang- orang Yaman. Tak lama kemudian dia
pindah ke Makkah dan mengajar rombongan haji yang datang dari berbagai penjuru.
Melalui mereka inilah madzhab Syafi’I menjadi terlebas luas. Pada tahun 198 H,
Imam Syafi’I pindah ke Mesir dan mengajar di Masjid Amr bin Ash. Di tempat
inilah Imam Syafi’I menyusun karya-karyanya dalam bidang fiqh maupun ushul fiqh
Dasar atau sumber yang digunakan dalam
melalaikan ijtihad adalah :
a. Al
Qur’an
b. Sunnah,
baik yang mutawatir maupun yang ahad
c. Ijtna’
sahabat
d. Qaul
sahabi, atau perkataan
e. Qiyas
f. Istishab,
menggunakan hukum yang sudah ada sampai ada hukum baru yang mengubahnya
4.
Madzhab
Hanbali
Madzhab Hanbali merupakan madzhab yang
mengacu ' pada pendapat dan pemikiran Abu Abdullah Ahmad Muhammad ibn Hanbal
Ibn Hilal Al Syaibani, yang lahir di Baghdad tahun 164 H/ 780 M. pengembaraan
keilmuannya dimulai di Bashrah, dan disanalah dia bertemu beberapa kali dengan
Imam Syafi’i.
Ahmad bin Hanbal dibesarkan dalam keadaan
yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak
kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik
simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat
yang besar kepada ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal Al
Qur’an, kemudian belajar bahasa arab, hadits, sejarah nabi dan sejarah sahabat
serta para tabi’in. Ibn Qayyim Al
Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat Ahmad Ibn Hanbal dibangun atas lima dasar,
yaitu sebagai berikut:
1) An
Nushush dari Al qur’an, dan As sunnah. Apabila telah terdapat ketemtuannya
dalam nash tersebut, ia berfatwa
2) dan
tidak mengambil yang lainnya. Oleh karena itu, didahulukan atas fatwa para
sahabat
3) Ahmad
Ibn Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat ia memilih pendapat sahabat yang tidak
menyalahinya (ikhtilaf)/sudah sepakat.
4) Apabila
fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibn H anbal memilih salah satu pendapat
mereka yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan as sunnah.
5) Ahmad
Ibn Hanbal menggunakan hadits mursal dan dhoif, apabila tidak ada atqaul
sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.
6) Apabila
tidak ada dalam nash, As sunnah, qaul sahabat ; riwayat masyhur, hadist mursal
dan dhoif, Ahmad Ibn
7) Hanbal
menganalogikan (menggunakan qiyas) dan qiyas baginya adalah dalil yang dipakai
dalam keadaan terpaksa.
5.
Madzhab
Ja’fari
Madzhab ini mengambil acuan dari pendapat
Ja’far bin Muhammad Al Baqir Bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib suami Fatimah Az Zahra binti Muhammad saw. Ibunya bernama Ummu Farwah
binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As Siddiq.
Madzhab ini menolak
penggunaan qiyas. Dalam penetapan hukum menggunakan sumber-sumber syar’I yaitu
Al qur’an, sunnah dan akal. Penafsiran Al qur’an yang paling absah menurut
madzhab ini, adalah yang berasal dari Rasulullah dan para iamam mereka.
Termasuk dalam kategori sunnah adalah sunnah ahlul bait, yang diriwayatkan oleh
iamam ma’sum. Madzhab ini menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat
yang memusuhi ahlul bait.
Istihsan tidak boleh dipergunakan, sedangkan giyas
hanya dipergunakan, jika ‘illatnya manshushus (terdapat atau disebut dalam
nash). Jika tidak ada ketentuan nashnya, digunakan akal berdasarkan
kaidah-kaidah tertentu. Dari uraian
tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara sunni dan syi’ah, salah satu contohnya dalam proses ijtihad, bagi aliran
madzhab syi’ah ijtihad merupakan wewenang para imam yang sudah diakui
keilmuannya, 1 kesalehan dan kearifan dalam bidang hukum yang berlaku di
syi’ah. Sementara menurut madzhab sunni, siapapun boleh menetapkan hukum asal
memenuhi syarat. Jika kita telaah lebih dalam maka akan kita temui beberapa
perbedaan antara syi’ah dan sunni.
Demikianlah beberapa madzhab dalam fiqh,
yang merupakan hasil dari proses berfikir seseorang atau para ulama’, sehingga
lahirlah sebuah pemikiran mengenai syari’at Jika kita tengok sejarah perbedaan
ini akan kita temui tidak 1 hanya berawal dari masalah fiqh dan ushul fiqh,
namun juga lahir karena dampak politik dan kemudian merambah kepada masalah
keimanan, sehingga munculah aliran-aliran teologi. 2 diantaranya Syi’ah, Khawarij, Muktazilah, murjiah Jabariyah,
Qadariyah, ahlussunnahdalam aliran tersebut pembahasan mencakup beberapa hal
diantaranya:
a.
Pelaku dosa besar
b.
Iman dan kufur
c.
Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
d.
Sifat-sifat Tuhan
e.
Kehendak mutlak dan keadilah Tuhan
Ketika
kita menengok di zaman modem ini, terutama di Indonesia, maka akan kita temui
pula beberapa perbedaan dalam beragama, dan kebanyakan masih dalam masalah
Sehingga lahirlah beberapa organisasi Islam yang masih berlangsung dan
berkembang hingga saat ini di Indonesia, salah satu contohnya antara NU dan
Muhammadiyah.
II. Faktor-faktor yang Menyebabkan adanya
Ikhtilaf’
Faktor-faktor yang mempengaruhi merupakan
sebuah 1 penyebab adanya perbedaan pemahaman atau pendapat, termasuk dalam hal
agama. Para pakar hukum berbeda-beda dalam mengklasifikasikan faktor-faktor
yang menyebabkan adanya ikhtilaf, disini penulis akan mengambil beberapa,
seperti yang dikemukakan oleh Dr.Yusuf Al Qaradhawi, mengenai Fiqh perbedaan.
Ditinjau dari segi sebab dan akarnya, ada
dua bentuk (perselisihan/ perbedaan)
1. Ikhtilaf
yang disebabkan oleh faktor akhlak
Yakni terdapat beraneka motifasi dari
berbagai sikap dan | peristiwa.
2. Ikhtilaf
yang disebabkan oleh faktor akhlak
Ikhtilaf ini timbul karena perbedaan sudut
pandang mengenai suatu masalah, baik masalah alamiah ataupun miisalah ‘amaliah.
Contoh dalam masalah ilmiah adalah perbedaan menyangkut cabang-cabang syari’at
dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip yang pasti.
Adapun dalam masalah amaliah adalah
perbedaan mengenai sikap-sikap politik dan pengambilan keputusan atas berbagai
masalah, akibat, perbedaan sudut pandang kelengkapan data dan informasi,
pengaruh-pengaruh lingkungan dan zaman.
Secara spesifik, Syekh Muhammad Al Madany
dalam bukunya Asbab Ikktilaf Al Fuqaha membagi sebab ikhtilaf menjadi empat
macam: 1) pemahaman Al Qur’an dan sunnah rasulullah saw, 2) sebab-sebab khusus
tentang sunnah rasulullah, 3) sebab-sebab yang berkaitan dengan kaidah- kaidah
ushuliy&h dan fiqhiyyah, serta 4) sebab-sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil di luar Qur’an dan sunnah.
Dalam pembahasan lain Yusuf Al Qaradhawi
menyebutkan bahwa perbedaan selama itu masalah furu’ merupakan kemestian, dan
kemestian ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
1) Tabiat
Agama (Islam)
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia
mampu menjadikan agama ini satu bentuk dan sisi pemahaman yang tidak
memungkinkan adanya perbedaan dan tidak memerluka ijtihad. Siapa yang
menyimpang walau hanya sejengkal maka dia kafir. Akan tetapi, Allah melakukan
hal tersebut agar tabiat agama ini
sesuai dengan tabiat bahasa dan tabiat manusia.
Allah memberikan kelapangan
kepada para hambaNya Seandainya Allah menghendaki kesepakatan kaum muslimin
dalam segala hal, sekalipun masalah furu’ atau dasar yang tidak asasiah,
niscaya Dia menurunkan kitabNya dalam bentuk: nash nash yang semuanya muhkamat
dan pasti penunjukkannya sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan pemahaman
dan penafsiran, akan tetapi, Allah menghendaki agar didalam kitabNya ada yang
muhkamat dan ada pula yang Bagian-bagian yang mutasyabihat ini disamping
sebagai ujian, juga merupakan pendorong akal untuk melakukan ijtihad (bekerja
dengan maksimal).
2) Tabiat
Bahasa
' Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang
diungkapkan dalam wujud teks-teks bahasa dan lafal. Demikian pula sebagian as
sunnah. Dalam memahami teks-teks al qur’an dan as sunnah ini, kita harus
mengikuti kaidah-kaidah bahasanya, sebagainaba kita memahami dan menafsirkan suatu
teks bahasa, karena teks-teks tersebut disusun sesuai dengan ketentuan tabiat
bahasa, baik menyangkut arti bahasanya maupun susunan kalimatnya. Didalamnya
terdapat lafal % musytarak, yang memiliki lebih dari satu arti.
3) Tabiat
Manusia
Allah menciptakan manusia beraneka ragam.
Setiap orang meiliki kepribadian, pemikiran,dan tabiat tersendiri.
Perbedaan-perbedaan akan tampak baik dalam penampilan r lahiriahnyamaupun dalam
sikap mentalnya. Perbedaan sifat-sifat manusia dan kecenderungan -kecenderungan
psikologisnya ini, akan mengakibatkan perbedaan mereka dalam menilai sesuatu
dalam sikap maupun perbuatan. Perbedaan ini tampak dalam fiqh, politik,
perilaku sehari- hari dan lain sebagainya.
4) Tabiat
Alam dan Kehidupan
Tabiat alam yang kita tempati sekarang ini
diciptakan oleh Allah dalam beraneka ragam bentuk, iklim, warna. Demikian pula
tabiat kehidupan, ia senantiasa beraneka ragam dan berubah, sesuai dengan
faktor-faktor pengaruh yang beraneka macam seperti tempat dan zaman.
III. Sikap kita terhadap Ikhtilaf dalam
Beragama
Perbedaan di samping merupakan dharurat
(kemestian), juga merupakan rahmat terhadap umat dan keleluasaan baginya. Pada
hakikatnya perbedaan ini tidak mungkin dapat dihindari lantaran nash-nash dasar
banyak mengandung lebih dari satu makna. Di samping itu, nash tersebut tidak
mungkin mencakup semua permasalahan yang mungkin terjadi sebab nash-nash ini
terbatas sedangkan permasalahan yang muncul tidak terbatas.
Menurut Yusul Al
Qaradhawi, tidaklah menjadi masalah adanya beberapa kelompok dan jama’ah yang
berjuang untuk menegakkan islam apabila halitu merupakan perbedaan yang
bersifat variatif bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif. Dalam menghadapi
masalah-masalah asasi dan keprihatinan bersama, mereka harus mencerminkan satu
barisan laksana bangunan yang kokoh.
Lebih lanjut beliau mengemukakan terdapat beberapa hal yang perlu
dijauhi oleh umat Islam berkenaan dengan adanya ikhtulaf dalam beragama,
diantaranya:
- 1) Membanggakan diri dan mengagumi pendapat sendiri2) Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti3) Egoisme dan mengikuti hawa nafsu. Diantara akibatnya ambisi terhadap kepemimpinan atau kedudukan4) Fanatik kepada pendapat orang atau madzhab golongan5) Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama’ah, atau pemimpinSikap-sikap diatas merupakan akhlak tercela dan muhiikat (hal yang mencelakakan) dalam pandangan para ulumul qulb (ulama yang menyelidiki masalah hati). Wajib bagi para muslim awam apalagi aktifis islam dan da’I untuk berusaha menghindari sifat-sifat tercela tersebut. Ikhtilaf yang timbul karena perangai yang tercela ini adalah perselisihan yang tidak terpuji, bahkan termasuk perpecahan yang tercela.
KESIMPULAN
1.
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf secara
bahasa ikhtilaf diambil dari kata fi’il madhi kemudian berwazan istafngala ,
jika di tashrif, bentuknya adalah ikhtalafa yahlalifu ihtilafan sebagaimana
disebut dalam kamus
2.
Madzhab yang muncul dari aliran fiqh:
madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hanbali, Madzhab
Ja’fari
3.
Aliran-aliran teologi, diantaranya :
Syi’ah, Khawarij, Muktazilah, Mutjiah, Jabariyah, Qadariyah, Ahlussunnah
4.
Faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf
diantaranya HKT karena : Tabiat Agama, Tabiat Bahasa, Tabiat Manusia , Tabiat
Alam dan Kehidupan
5.
Beberapa bal yang perlu dijauhi oleh umat
Islam berkenaan dengan adanya ikhtilaf dalam beragama, di antaranya:
a. Membanggakan
diri dan mengagumi pendapat sendiri
b. Buruk
sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti
c. Egoisme
dan mengikuti hawa nafsu. Diantara akibatnya ambisi terhadap kepemimpinan atau
kedudukan
d. Fanatik
kepada pendapat orang atau madzhab dan golongan
e. Fanatik
kepada negeri, daerah, partai, jama’ah, atau pemimpin
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Rozak, Rosihon
Anwar,2006, Kalam untuk UIN, STAIN PTAIS, Bandung: Pustaka Setia
Ali Sodiqin, 2012, Fiqh
Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta:
Beranda Publishing
Dedi Supriadi, 2013,
Ushul Fiqh Perbandingan, Bandung; CV Pustaka Setia
Jalaluddin Rahmat, 1994,
Dari Madzhab Skripturalisme ke Madzhab Liberal dalam Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina
Moenawar Cholil, 1995,
Empat Biografi Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang
Muhammad Jawad Mughniyah,
2011, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera
Tim Pembukuan Tamatan,
2012, Jendela Madzhab: Memahami Istilah dan Rumus Madzahib Al Arba ’ah, Kediri:
Lirboyo press
Yusuf Al Qaradhawi, 1991,
Fiqh Perbedaan Pendapat, Jakarta: Robbani Press
PAI Dalam Konteks Perbedaan Pemahaman Agama
Reviewed by Kharis Almumtaz
on
May 27, 2018
Rating:
