PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL DI MADRASAH/SEKOLAH
PELUANG
DAN TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN
MULTIKULTURAL
DI MADRASAH/SEKOLAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan
multikultural adalah suatu keniscayaan. Ia merupakan paradigma dan metode untuk
menggali potensi keragaman etnik dan keragaman nusantara, dan mewadahinnya
dalam suatu manajemen konflik yang memadai. Pendidikan multikultural merupakan
kearifan dalam merespon dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang
memaksakan homogenisasi dan hegemoni pola dan gaya hidup. Ia juga jembatan yang
menghubungkan dunia multipolar dan multikultural yang mencoba direduksi isme
dunia Barat-Timur dan Utara-Selatan. [1]
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan potensi pluralis dan multikultural terbesar
di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari dinamika kehidupan masyarakat yang
beragam, baik dalam aspek keagamaan, suku bangsa, bahasa maupun budaya.
Keragaman yang ada, sesungguhnya dapat menjadi salah satu potensi besar bagi
kemajuan bangsa. Namun di lain pihak, juga berpotensi menimbulkan berbagai
macam permasalahan apabila tidak dikelola dan dibina dengan baik. Umat muslim
sebagai pemeluk agama yang mayoritas, harus berperan aktif dalam mengelola
dimensi keragaman bangsa ini. Pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen
penting peradaban umat, perlu dioptimalkan sebaik mungkin untuk menata dinamika
keragaman agar dapat menjadi potensi kemajuan.
Sejatinya
dalam beberapa dekade belakangan ini, gagasan yang berupaya mengakomodasi dan
menata aspek keragaman melalui agenda pendidikan Islam cukup banyak dilakukan.
Tidak sedikit pula ide-ide bermunculan terkait multikulturalisme yang
teraktualisasi dalam wacana pendidikan Islam. Hanya saja jika dilihat dari
proses pengembangan serta aspek implementasinya, masih belum betjalan sesuai
harapan. Pelaksanaan pendidikan Islam multikultural masih dihadapkan pada
berbagai macam persoalan. Sebagai wacana yang relatif baru, hal ini tentu saja
bisa dimaklumi. Akan tetapi apabila dikaitkan dengan fenomena yang terjadi dan
berbagai persoalan yang ada di lapangan, kebutuhan akan implementasi yang tepat
dan terarah, merupakan a yang mendesak untuk dilakukan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Pembahasan
materi dalam makalah ini kami susun sebagai berikut:
1. Bagaimana
Gagasan Pendidikan Agama Berbasis Multikultural?
2. Bagaimanakah
peluang Pendidikan Agama berwawasan multikultural di Madrasah/Sekolah?
3. Bagaimanakah
tantangan Pendidikan Agama berwawasan multikultural di
4. Madrasah/Sekolah?
PEMBAHASAN
A.
Gagasan Pendidikan Islam Berbasis
Multikultural
Kesadaran
multikulturalisme masyarakat kita yang terdiri dari banyak suku dan beberapa
agama, maka pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan.[2] Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha
menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan tata nilai, memupuk persahabatan antar siswa yang
beraneka ragam suku, ras dan agama, mengembangkan sikap saling memahami serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak diharapkan oleh banyak pihak dalam rangka untuk mengantisipasi konflik
sosial-keagamaan menju perdamaian.
Konsep
dasar pendidikan multikultural dikatakan oleh bennet terdiri dari dua hal,
yaitu nilai-nilai inti (core values) dari pendidikan multikultural dan tujuan
pendidikan multikultural. Bennet secara tegas menyebutkan bahwa niali-nilai
dari pendidikan multikultural, antara lain, a) apresiasi terhadap realitas
budaya di dalam masyarakat dengan pluralitasnya; b) pengakuan terhadap harkat
manusia dan hak asasi manusia; c) kesadaran dan pengembangan tanggungjawab dari
masyarakat; d) kesadaran dan pengembangan tanggungjawab manusia terhadsap alam
raya.[3] Selanjutnya dikatakan oleh Tilaar, bahwa inti
permasalahan pada pendidikan multikultural terkait dengan permasalahan
keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia. [4]
Dari
dua pendapat di atas dapat dimengerti bahwa inti dari pendidikan multikultural
setidaknya mencakup hak asasi manusia, keadilan sosial, demokrasi, dan
toleransi terhadap sesama manusia maupun terhadap kedamaian dan keselamatan.
Berdasarkan
nilai-nilai inti tersebut di atas maka dirumuskan tujuan pendidikan
multikultural. Disebutkan oleh Tilaar bahwa terdapat enam tujuan pendidikan
multikultural yaitu:[5]
1)
Pengembangan presfektif sejarah yang
bergam.
2)
Memperkuat kesadaran budaya yang terdapat
dalam masyarakat.
3)
Memperkuat kompetensi intelektual dari
budaya-budaya yang hidup dalam
4)
msyarakat.
5)
Menghilangkan rasisme, seksisme, dan
berbagai jenis prasangka.
6)
Mengembangkan kesadaran terhadap
kepemilikan pelanet bumi seisinya.
7)
Mengembangkan keterampilan aksi sosial
8)
B.
Peluang Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural di Madrasah/Sekolah
Peluang
pendidikan Agama berwawasan multikultural di madrasah/ sekolah terkandung dalam
nilai sebagai berikut:
1) Nilai
Andragogi
Ivin
Ilic dalam artikelnya sebagaina yang dikutip Puryanto (2006) menengarai bahwa “
sekolah lebih berbahaya daripada nukli”. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari
sekolah”. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah sekedar ungkapan apriori
terhadap sekolah. Ini menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir
pendidikan.[6]
Kata-kata
itu menjadi berbobot bukanlah sekedar ungkapan yang bertendensi pada sikap yang
nyeleneh, melainkan fakta yang melatar belakanginya. Ilic saat itu melihat
semua sekolah di berbagai negara terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan
pada tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari nominasi budaya
ini kemudian melahirkan satu corak pendidikan yang hanya sekedar agen
reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender;
relasi rasisme, dan sisten relasi kekuasaan.[7]
Pada
sekolah atau pendidikan diharapkan mampu mengubah keterpurukan manusia dari
berbagai sudut yang mengakibatkan di ambang kehancuran. Knowles (1970)
menggambarkan murid sebagai dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk
merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan ataupun mengambil manfaat,
memikirkan cara terbaik untuk belajar, serta mampu mengambil manfaat dari
pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai fasilitator bukan menggurui. Oleh karena
itu, relasi antar guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.[8] Pendidikan kemudian menjadi sarana bagi ajang
kreatifitas, minat dan bakat peserta didik, visi pendidikan yang demokratis,
liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu
cita-cita tentang bagaimana pentingnya menbangun kehidupan yang humanis
2) Nilai
Perdamaian
Islam
sebagai agama rahmatan UValamin mempunyai misi menyebarkan kedamaian bagi semua
ummat manusia. Islam melarang jihad terhadap orang- orang non-Muslim yang
menyatakan ingin hidup rukun dan damai bagi umat Islam. Sikap hidup damai
bersama penganut agama lain, sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Yang
tidak melancarkan jihad terhadap orang minoritas, yaitu Yahudi karena mereka
sudah menyatakan diri untuk terikat dalam kontrak kenegaraan.[9]
Di
madrasah/ sekolah nilai perdamaian haruslah diajarkan karena zaman sekarang
banyak sekali anak- anak sekolah tawuran dengan berbagai macam alasan yang
melatar belakanginya.
3) Nilai
Inklusivisme
Klaim-klaim
sepihak seringkah muncul berkaitan dengan kebenaran suatu paham atau agama yang
dipeluk oleh seseorang atau masyarakat. Bahwa hanya agama yang dianutnya saja
atau agama tertentu saja yang benar. Sementara agama lain tidak dianggap benar.
Sikap eksklusif ini oleh para pemerhati studi agama disebut truth claim
(Abdullah, 1994:4). Sementara dalam realitasnya, terdapat beragam agama dan
keyakinan yang berkembang di masyarakat. Pluralitas agama, keyakinan dan
pedoman hidup manusia adalah sebuah fakta sosial yang tidak dapat di pungkiri.
Guru
agama pada khususnya seharusnya mengajarkan kepada para siswanya untuk
menciptakan kehidupan ya ng imani dan damai dalam konteks kemajemukan agama di
Indonesia ini.
4) Nilai
Kearifan
Islam
juga memberikan kebebasan kepada manusia untuki mencari sendiri berbagai hal
yang dapat disebut perinsip sekunder.[10] Dalam Islam, kearifan dapat dipelajari
melalui ajaran sufi, Sufi artinya kebijakan atau kesucian yaitu suatu cara
membersihkan hati dari kelakuan buruk. Sufi mengajarkan kepada Manusia untuk
membersihkan nafsu, hati, dan jiwa melalui pendekatan esoteris melihat Allah
tidak untuk ditakuti tapi untuk dicintai.
Ajaran
islam juga mengajarkan bertindak secara adil, tidak boleh melakukan kekerasan
dan tidak boleh menuruti hawa nafsu juga. Dalam surat an-Nahl ayat 90 .
dijeleaskan mengenai ajaran Islam kepada pemeluknya dalam menerima informasi
yang belum jelas asal usulnya. Kunci kearifan adalah kerendahan hati. Sesorang
yang arif menunjukkan kerendahan hati, dapat memosisikan dirinya, tahu kapan
menyatakan tidak, kapan berhenti membantu orang lain, tahu kelemahan manusia
dan kesulitan untuk melakukan pembahan.
5) Nilai
Toleransi
istilah
toleransi berasalal dari bahasa Inggris, yaitu: “tolérance” berarti sikap
membiarkan. Mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan
persetujuan.[11]
Pengembangan
sikap pluralisme pada peesita didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera
di lakukan oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati.
Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang
toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan menitikberatkan pada
pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks berbeda agama dan budaya,
baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada
primordialismedan eksklusif kelompok agama dan budaya yang sempit.
6) Nilai
Humanisme
Tujuan
sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri
peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi yang dewasa yang
matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan
sehari-hari. Agar tujusn ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran
dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan
keterampilan yang memadai.
Dengan
gerakan Humanisme dan skolasitisme telah memunculkan oertodoksi kebahasaan dan
hukum keagamaan melahirkan “teradi” tertentu dalam pendidikan Islam, yakni
pendidikan Islam yang bisa di jadikan saluran transmisi dan inkulturasi
keilmuan dan keabsahan hukum-hukum dalam kerangka ortodoksi. Atas dasar inilah
pendidikan (Islam) dinilai sebagai ‘sistem sosial” senantiasa merefleksikan
filosofi komunitas pendukungnya.[12] Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat
aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting
untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual emosi (EQ), afeksi
maupun keterampilan yang berguna untuk hidup peraktis.
7) Nilai
Kebebasan
Setiap
manusia memiliki hak yang sama di hadapan Allah swt. Manusia tidak dibedakan
derajatnya berdasarkan suku, ras, maupun agama. Allah memiliki ukuran
tersendiri dalam memberikan peneilaian terhadap kemuliaan seseorang. [13]
Pendidikan
adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara pendidikan dan
manusia sangat erat sekali tidak bisa dipisahkan. Kata Driyakarta, pendidikan
adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan peroses pembimbingan manusia muda
menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh
menggunakan missifikasi jalur kultural. Tidak ada model “kapitalisasi pendidikan”
atau “politisasi pendidikan”. Karena pendidikan secara mumi berupaya
membentukinsan akademis yang berwawasan dan berkepribadian manusia.
Memperbincangkan
pendidikan (agama) Islam pada hari ini biasanya memunculkan gambaran pilu dalam
pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran, dan kondisi yang serba tidak
jelas sehingga memberikan kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Kautsar Azhari
Noer (dalam Connh Semiawan, tt) menyebutkan empat faktor penyebab kegagalan
pendidikan Agama Islam tersebut, yaitu: pertama, penekanannya lebih pada proses
transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan
dan moral kepada anak didik; Kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih
dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai “pelengkap” yang
dipandang sebelah mata; Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral yang
mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka
menolong, suka damai dan toleransi, dan; Keempat, kurangnya perhatian untuk
mempelajari agama- agama lain.
Diantara
faktor pendukung dikembangkannya pendidikan Agama Islam berwawasan
multikultural adalah: (1) adanya landasan kultural dan theologis dari al-
Qur’an maupun al-Hadist terhadap nilai-nilai multikultural, yaitu: nilai kejujuran
dan tanggungjawab (al-amanah), keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawah),
permusyawaratan dan demokrasi (al-syura atau al-musyawarah), nilai solidaritas
dan kebersamaan (al-ukhuwwah), kasih sayang (al-tarakhim atau al-talathuf),
memaafkan (al- ’afw), perdamaian (al-shulh atau al-silm), toleransi
(al-tasamuh) dan kontrol sosial (amr al-ma’ruf nahy ‘an al-munkar); (2)
nilai-nilai multikultural tersebut telah lama dikenal dan diajarkan di lembaga
pendidikan Islam, terutama penjelasannya dalam teks-teks klasik (al-kutub
al-mu’tabarah) yang lazim digunakan di pondok pesantren; (3) rakyat Indonesia
telah memiliki sejarah yang panjang mengenai pluralisme dan multikulturalisme
karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius dan multikultur,
dan; (4) terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai tempat untuk
memecahkan kebekuan komunikasi dan keijasama antar umat beragama di beberapa
daerah menjadi angin segar terhadap pemahaman agama yang inklusif, toleran dan
sejalan dengan semangat pendidikan multikultural.
C.
Tantangan Pendidikan Agama berwawasan
multikultural di Madrasah/Sekolah
Problematika
dan tantangan pendidikan berbasis multikultural muncul bukan tampa masalah.
Bila ditelusuri lebih jauh, persoalannya ternyata sangat kompleks. Berikut ini
permasalahan atau tantatangan pendidikan agama berwawasan multikultural di
madrasah/ sekolah, yaitu:
1) Globalisasi
Universalitas
pengalaman keberagamaan merupakan premis penting dalam ajaran argumen al-Qur’an
berhadapan dengan kehidupan profan (duniawi) atau sekuler.[14] Dominasi negara- negara maju yang menjadi
pusat penyebaran isme dunia tunggal ini memaksakan keseragaman pola dan gaya
hidup mondial, baik melalui dunia hiburan, makanan dan minuman, serta mode-
mode pakaian. Orang gunung kidul yang kebiasaan
makan tiwul dikondisikan
untuk dapat menikmati pizza atau spageti yang asing dari cita rasa keseharian
mereka. Bentuk- bentuk globalisasi semacam itu memperoleh penguatan luar biasa
dari kuasa kapitalisme yang nyaris tak terbendung.
Dari
ketidakjelasan tata dunia baru itulah, kita dituntut untuk belajar mengenai
perbedaan dalam agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender,
seks, kebudayaan, kepentingan dan sebagainya. Ta'aruf, demikian Al Qur'an
menyebutkan. Namun negeri dengan mayoritas muslim ini rupanya belum menyadari
isyarat Al Qur'an tentang pesan moral yang dimaksud. Multipolar, multikultural
adallah sunnatullah yang tak terbantahkan.
Globalisasi
tidak disangkal lagi, telah menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dalam
kehidupan manusia. Hampir seluruh sektor kehidupan tersentuh oleh pengaruh
globalisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini,
kita akan melihat perkembangan globalisasi, a). Globalisasi politik, b)
globalisasi ekonomi, dan b). Globalisasi kebudayaan.
2) Gerakan
Radikalisme Islam
Gerakan
radikalisme akhir-akhir ini juga menjadi ancaman persebaran mltikulturalisme di
dunia. Pasalnya model gerakan ini ditengarai banyak pihak cenderung tidak
menghedaki kebesan dan kemajemukan. Intinya adalah mempertahankan eksistensi
dan ortodoksi agama sembari menempuh jalan kekerasan. [15]
3) Dinamika
Politik dan Agama
Konflik
dan kerusuhan yang etijadi di beberapa kawasan seperti Aceh, Sampit, Poso,
Ambon, tragedi 1998, Tragedi Semanggi I dan II, dan beberapa waktu lalu
penyerbuan laskar FPI kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Bearagama dan
Berkeyakinan yang sedang menggelar aksi damai. Tindakan dan perilaku biadab
manusia atas manusia lain di bumi Indonesia tampaknya bukanlah barang aneh.
Indonesia seolah- olah tak pernah sepi dari peristiwa mencekam dan menakutkan
itu. [16]
Beberapa
konflik yang sering terjadi telah menjadi persolan kebangsaan yang tak pernah
surut dari bagunan sejarah Indonesia. Mencoba mengidentifikasi masalah-masalah
ada beberapa yang perlu diapresiasi. Pertama masalah integrasi. Indonesia
sebagai negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan
keyakinan menyimpan potensi akan teijadinya konflik. Kedua masalah legitimasi
politik kekuasaan. Sejak orde lama, orde baru samapai reformasi, masala
legitimasi ini sering dipersoalkan sebagai legitimasi dari atas (dari Tuhan
atau alam mistik).[17]
4) Hubungan
Agama dan Negara
Ada
tiga pandangan hubungan agama dan negara yang sering menjadi perdebatan di
masyarakat dan secar khusus di dunia Islam.Pertama, paradagma integralistik.
Agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated).
Wilayah agama juga wilayah politik. Kedua, paradigma simbiotik. Agama dan
negara berhubungan secara simbiotik atau timbal balik dan saling memerlukan.
Agama memerlukan negara, karena dengan negara bisa berkembang. Sebaliknya,
negara memerlukan agama, karena dengan agama negara bisa berkembang dalam
hubungan etika dan moral. Ketiga, paradigmaa sekularistik. Suatu pandangan yang
memisahkan antara agama dan negara, agama dan negara dalam paradigma ini,
merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin disatukan.[18]
Dalam
konteks yang tidak jauh berbeda, M. Amin Abdullah (1998: 65) melihat beberapa
kelemahan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, yaitu: 1) pendidikan agama
lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang
bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis; 2) pendidikan
agama kurang concem terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam
diri anak didik lewat berbagai cara, media dan forum; 3) isu kenakalan remaja,
perkelahian di antara pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color crime,
konsumsi miras, dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung, memiliki kaitan
dengan metodologi pendidikan agama yang selama ini beijalan secara
konvensional-tradisional; 4) metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah
antara pra dan post era modernitas; 5) pendidikan agama lebih menitikberatkan
pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan teks-teks
keagamaan yang sudah ada; 6) dalam sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian
agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif dan jarang pertanyaan
tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang
fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh
karena itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang
memiliki kesadaran multikulturalisme, diperlukan rekonstruksi pendidikan agama.
Maksudnya, kalau selama ini pendidikan agama masih menekankan sisi keselamatan
yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya
sendiri, maka pendidikan agama perlu direkonstruksi kembali, agar lebih
menekankan proses edukasi sosial yang tidak semata-mata individual dan
memperkenalkan social contract. Dengan demikian, pada diri peserta didik
tertanam suatu keyakinan bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda
dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman dan kredo. Namun, demi
menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak
mau harus rela menjalin keija sama dalam bentuk sosial antarsesama kelompok
warga masyarakat. Dengan reorientasi ini, diharapkan akan teijadi perubahan
proses dan mekanisme pembelajaran menuju ke arah terciptanya pemahaman dan
kesadaran multikultural kepada anak didik. Dalam hubungannya dengan hal ini,
setidaknya peran aktif yang harus segera dikeijakan oleh praktisi pendidikan (Islam)
adalah menyusun dan mengembangkan disain kurikulum dan metode pendidikan agama
yang mampu menumbuhkan sikap saling menghargai antarpemeluk agama dan
kepercayaan.
Sementara
yang menjadi tantangan dalam pelaksanaan pendidikan Agama Islam berbasis multikultural
di madrasah/ sekolah adalah:
1) Masih
terbangunnya mindset (kerangka berpikir) yang keliru dalam memah'mi
paham/aliran-aliran kontemporer terkait dengan ajaran agama. Munculnya fatwa
MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) tentang larangan / haramnya paham pluralisme
sedikit banyak menghambat upaya pencapaian pendidikan multikultural tersebut;
2) Masih
merebaknya konflik, baik antarumat agama maupun interumat agama itu sendiri
serta fundamantalisme pemikiran yang masih bertahan pada pemikiran lama
3) yang
ekslusif - fundamentalis dan berpandangan bahwa kelompok (agama) lain adalah
sesat sehingga harus disatukan;
4) Lebih
menonjolnya semangat ke-ika-an dari pada ke-bhineka-an dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta kurangnya pengakuan terhadap keberadaan dan hak
agama, suku dan golongan lain;
5) Belum
tertanamnya kesadaran bahwa menganggap agama, kelompok/suku yang satu “lebih
baik” dari yang lain adalah pandangan sempit yang offensive, dan karenanya
harus ditinggalkan;
6) Pengajaran
PAI berwawasan multikultural belum terkonsep dengan jelas terkait dengan
kurikulum dan metodenya;
7) Guru-guru
agama Islam di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama
nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus
pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme, multikulturalisme dan dialog
antarumat beragama, dan;
8) Kurangnya
pemahaman terhadap multikulturalisme dan pluralisme sebagai desain Tuhan
(design of God) yang harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung
tinggi multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB
III
KESIMPULAN
Pendidikan
Agama Islam berwawasan multikultural merupakan sebuah keniscayaan yang mendesak
untuk segera diimplementasikan untuk mewujudkan -istilah Gus Dur- “republik
surga di bumi”, yaitu tatanan kehidupan yang penuh dengan harmonisasi,
keramahan, kesantunan, kerukunan dan kedamaian. Sebuah idealisme dalam
kehidupan.
Pendidikan
multikultural juga dapat digunakan untuk membina siswa agar mereka tidak
tercabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya ketika berhadapan dengan
realitas sosial budaya di eraglobalisasi ini.
Nilai-nilai
pendidikan Islam berbasis multikulturaka.Nilai Andragogi, b.Nilai perdamaian,
c.Nilai inklisivisme,’d.Nilai Humanisme, e.Nilai kearifan, f. Nilai toleransi,
g. Nilai kebebasan. Adapun tantangan pendidikan multikultural: a. Globalisasi,
b. Gerakan radikalisme Islam, c. Dinamika politik dan agama, d. Hubungan antar
agama dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksum, Pluralisme
dan Multikultularisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia,
Yogyakarta; Aditya Media Publishing, 2011.
David G. Gulamic,
Wabster's Word Distionary of American languange, dalam bukunya Said Husain
Al-Munawara, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan
dan Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003.
John L. Esposito (ed),
Islam, Kekeuasaan Pemerintah, Dokrin Iman & Realitas Sosial, terj. M.
Khoirul Anan, Jakarta; Inisiasi Press, 2004.
Machasin, Islam Dinamis
Islam Harmonis, (Lokalitas Pluralisme Terosisme), Yogyakarta: LkiS, 2012.
Mahmud Arif, Pendidikan
Islam Transformatif.\ Yogyakata; LkiS, 2008.
Muhammad Ali Lintubesang,
Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku ajar Kebudayaan Sejarah Islam,
Tesis, Yogyakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Zakiyuddin Baidhawy,
Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
[1] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005. Hal 17.
[2] Ali Maksum, Pluralisme dan
Multikultularisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia,
Yogyakarta; Aditya Media Publishing, 2011, hal 203.
[3] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan
Pendidikan, Magelang; Teralitera, 2003, hal., 170-171
[5] sibid., hlm., 171-172
[6] Ali Maksum, Peluralisme dan Multikultularisme...
hal., 266
[7] ibid., hal., 266
[8] Ibid., hal., 270
[9] Ibid., blm., 272
[10] Machasin, Islam Dinamis Islam
Harmonis, (Lokalitas Pluralisme Terosisme), Yogyakarta: LkiS, 2012, BI 187 ,
[11] David G.
Gularnic, Wabster's Word Distionary of American languange, dalam bukunya Said
Husain Al- Munawara, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005,
hal., 13
[12] Mahmud Arif,
Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakata; LkiS, 2008. Hal., 106-107
[13] Muhammad Ali
Lintubesang, Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku ajar Kebudayaan
Sejarah Islam, Tesis, Yogyakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2011, hal., 97
[14] John L Esposito
(ed), Islam, Kekeuasaan Pemerintah, Dokrin Iman & Realitas Sosial, terj. M.
Khoirul Anan, Jakarta; Inisiasi Press, 2004, hal., 106
[15] Ali Maksum, Pluralisme dan Multikultularisme...
hal., 317
[17] Ibid., hal., 340
[18] lbid., hal., 364-365
PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL DI MADRASAH/SEKOLAH
Reviewed by Kharis Almumtaz
on
March 08, 2018
Rating:
