PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS MULTI-BUDAYA
PENDIDIKAN
ISLAM DALAM KONTEKS MULTI-BUDAYA
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sejak dari
rahim sang ibu hingga dewasa, bahkan tua renta. Pendidikan ibarat “pintu kemana
saja” yang bisa membawa kita kemanapun, memperlihatkan kepada kita kebesaran
ciptaan Tuhan dan bahkan dapat menuntun kita dalam menentukan arah dan tujuan
kehidupan. Manusia sebagai ciptaan-Nya mempunyai dua kepribadian inti. Pertama
manusia sebagai makhluk individu, dan kedua, manusia sebagai makhluk sosial
yang dalam kehidupannya diharuskan untuk berinteraksi dengan individu lain
sehingga menciptakan hubungan kekerabatan, persaudaraan, dan bahkan permusuhan.
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang majemuk yang memiliki beragam agama,
etnis, bahasa, dan budaya. Kemajemukan Indonesia seharusnya bisa dijadikan
sebagai modal pembangunan bangsa yang lebih bermartabat. Faktanya kemajemukan
di Indonesia belum bisa dikelola dengan baik yang akhirnya justru menimbulkan
konflik dan tindak kekerasan.
Latar
belakang munculnya pendidikan multikultural berawal dari diskriminasi kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas, diskriminasi kulit putih terhadap
kelompok kulit hitam, dan sebagainya. Selain dalam hal sosial kemasyarakatan, faktor
lain yang mendorong kemunculan pendidikan multikultural, yaitu faktor
pendidikan. Menurut Banks, lembaga-lembaga pendidikan di Amerika pada 1960-an
dan 1970-an belum memberi kesempatan yang sama bagi semua ras untuk memperoleh
pendidikan terutama
untuk
anak-anak usia sekolah yang berkulit hitam dan anak-anak cacat.[1] Tidak hanya di Amerika, di Indonesia pun
pernah teijadi diskriminasi dalam dunia pendidikan seperti kaum perempuan yang
dulu dilarang untuk mengenyam dunia pendidikan dan munculnya RSBI yang akhirnya
memunculkan paham “yang miskin tidak boleh pintar”.
2.
Rumusan masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1)
Apakah yang dimaksud Pengertia dan Ruang
lingkup Pendidikan Multibudaya itu ?
2)
Bagaimana Pendidikan Islam dalam konteks
Multibudaya ?
BABII
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN
ISLAM DALAM KONTEKS MULTIBUDAYA
A.
PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP PENDIDIKAN
MULTIBUDAYA
Multibudaya adalah suatu
pengakuan,penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang
menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun
komunitasnya yang bersifat kolektif. Multibudaya meliputi sebuah pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis lain. Menurut Stavenhagen (1986), kosep
multibudaya mengandung dua pengertian:
1)
Merupakan realitas social dalam masyarakat
yang heterogen , di mana dari segi ini sebannyak 95% Negara-negara di dunia
pada dasarnya adalah bersifat multibudaya yang secara etnis dan budaya bersifat
plural
2)
Pendidikan multibudaya telah diangkat
sebagai suatu keyakinan, idiologi , sikap, maupun kebijakan yang menghargai
pluralism etnik dan budayanya sebagai suatu yang berharga, potensial, harus
dipelihara dan ditumbuhkembangkan.[2]
Multibudaya (multiculture) adalah
suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang
menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak- hak individu maupun
komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya
(Kymlicka, 2002: 8,24).
Multibudaya adalah sebuah pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan
keingintauan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap
kebudayaan - kebudayaan orang lain , bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek
dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana
kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota- anggotanya
sendiri (Blum, 2001:16).
Melihat pengertian teori-teori
diatas, inti dari kajian pendidikan multibudaya adalah memahami, menghargai,dan
menilai atas budaya yang dimiliki oleh seseorang sehingga timbul sikap untuk
bisa menghargai kebudayaan tersebut, dalam hal ini bukan berarti bahwa kita
menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan tersebut, melainkan mencoba untuk
melihat bagaimana kebudayaan tersebut dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-
anggota kebudayaan itu.
Pendidikan multibudaya ini juga
dihubungkan dengan integrasi bangsa. Melalui pengembangan nasionalis
multikultur dapat dipelihara dan dikembangkan integrasi bangsa yang lebih
handal. Hal ini karena dianggap bahwa menciptakan masyarakat yang berkeadilan
sosial yang disatukan oleh nilai-nilai bersama akan memungkinkan terwujudnya
masyarakat sosial politik bersama dalam perbedaan yang ideal.
Kata kunci dalam pendidikan
multibudaya tersebut, yakni pengakuan adanya perbedaan dan penghargaan terhadap
dua kata yang selama ini dikontraskan. Oleh karena itu dalam pendidikan
multibudaya tidak beralandaskan pada pemilikan terhadap budaya tertentu, tetapi
berlandas pada kesadaran untuk menghargai dan menghormati. Keanekaragaman bukan
faktor penetu pemecah belah bangsa, melainkan mam[pu menjadi bumbu kehidupan
bagi perekat bangsa-bangsa di dunia.
Menurut Blum, elemen-elemen
pendidikan multi budaya mencakup tiga hal
yaknai:
1) Menegaskan
identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan
budaya sesorang. Dalam hal pemahaman
identitas kultural orang lain tidak diartikan pemahami seluruhnya. Pemahaman
disini juga tidak menghalangi kritik terhadap budaya tersebut.
2)
Menghormati dan berkeinginan untuk
memahami serta belajar tentang kebudayaan-kebudayaan yang bukan kebudayaannya.
Hal ini merupakan kelanjutan yang penting dari elemen pertama.
3)
Menilai dan merasa senang dengan
kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini memandang keanekaragaman budaya itu
sebagai suatu kebaikan yang positif untuk dihargai, diterima dan dipelihara
dalam komunitasnya.
Pengertian elemen pertama bahwa suatu
“pemahaman identitas kultural orang lain” tidak diartikan ataupun menegaskan
bahwa semua aspek kebudayaan itu seluruhnya “baik”, Suatu pemahaman identitas
kultural orang lain dalam hal ini tidak menghalangi kritik berdasarkan
standar-standar dari kebudayaannya yang mungkin dilanggar oleh kebiasaan -
kebiasaan khusus dalam kebudayaan tersebut, maupun berdasarkan norma-norma
eksternal bagi kebudayaan itu. (Schramm,2001 :7). Pandangan terpenting dari
pengenalan atau pemahaman terhadap budaya orang lain itu adalah bagaimana
kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat mengekspresikan nilai-nilai bagi para
anggotanya sendiri (Haris dan Moran, 2001: 57, Blum, 2001:16)
Pengertian elemen kedua, bahwa
pendidikan multibudaya itu “menghormati kebudayaan- kebudayaan orang lain”,
merupakan kelanjutan yang penting bagi fokus kegiatan pertama. Pemahaman
tersebut dimaksudkan tidak sekedar sesuatu yang bisa ditoliler apalagi
dibenarkan, melainkan diperkukan suatu tanggapan yang kritis dari pihak-pihak
eksternal untuk berperan serta dalam memberikan dukungan, alasan-alasan,
pengakuan, penghargaan, penilaian, penguatan, dan empati dalam kebersamaan
hidup sebagai bagian bangsa secara integral. Sebab adanya toleransi, pengakuan,
dan pengahargaan dari etnis dan budaya lain, akan berkontribusi dalam
memberikan rasa percaya diri. Penghargaan terhadap budaya seseorang sangat
berkontribusi besar terhadap pengakuan budaya suatu anggota masyarakat tertentu
tentang budaya mana yang merupakan bagian integral dalam suatu masyarakat luas,
merupakan bagian yang berarti dari unsure-unsur multikultural tersebut. Pengertian
dari elemen ketiga adalah, “memandang keanekaragaman budaya itu sebagai suatu
kebaikan yang positif untuk dihargai, diterima, dan dipelihara dalam
komunitasnya.
“ Blum (2001: 20-21) berpendapat
bahwa manifestasi penerima keragaman budaya sebagai suatu kebaikan yang
diterima dan dipelihara itu untuk mengekspresikan nilai tersebut bisa
diwujudkan lebih konkret dari tindakan menghormati dan berkeinginan untuk
memahami serta belajar tentang etnik. Ekspresi nilai budaya tersebut antara
lain dengan penerimaan etnis dan budayanya yang tergabung dalam kelompok/bangsa
untuk mempelajari kebudayaan nenek moyang tentang asal-usul kelompok etnis,
bangsa, atau peradabannya, cara lain yaitu dengan mempelajari pengalaman
sejarah dari kelompok etnis tersebut yaitu pengalaman sejarah, cara hidup,
kemenangan-kemenangan dan kemunduran, kesenian, sastera, serta
kontribusi-kontribusi perjuangan kepada bangsa yang dialaminya serta dengan
menerima kebudayaan-kebudayaan etnis masa kini dalam kelompok- kelompok ,
contohnya sekolah dasar negeri yang memperbolehkan anak perempuan memakai
jilbab.[3]
B.
PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS
MULTI-BUDAYA
Islam merupakan agama universal, yang
ajarannya mencakup seluruh kebutuhan hidup manusia baik untuk didunia maupun di
akhirat, dan pembahasan terkait multikulturalisme pun juga terdapat didalamnya.
Dalam Q.S. Ar-Ruum (30:22):
“
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang mengetahui.’
Selain itu AHah juga
menyebutkan dalam Q.S. Al-Hujuraat ( 49:13)
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
dislsi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Secara umum, ada beberapa kelompok
yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang paling
mendasar dari umat manusia adalah berasal dari keyakinan/agama dari orang
tersebut, dan dari dua ayat diatas bisa kita simpulkan bahwa perbedaan tersebut
berada dari segi bahasa, warna kulit/etnis, gender, bangsa, dan suku/ras.
Menurut sejarah, Islam sudah
“beragam”sejak kelahirannya. Pendidikan
Islam pun beragam, maka orang Islam tidak akan dianggap mengingkari sejarah
bila mengimplementasikan pendidikan yang multikultural. Pada kenyataannya untuk
mengajarkan Islam saja, seorang guru atau dosen sudah biasa mengimplementasikan
wawasan multikultural.
Di Indonesia sendiri pendidikan
multikultural juga telah dinyatakan secara langsung dalam UU sisdiknas tahun
2003 nomor 20, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[4] Sehingga, dikarenakan pendidikan Islam di
Indonesia merupakan bagian dari pendidikan nasional, maka pendidikan islam di
Indonesia pun bisa menerapkan wawasan pendidikan multikultural.[5]
Dalam konteks ini, pendidikan
multikultural menemukan momentumnya. Pendidikan multikultural dapat dikatakan
merupakan upaya preventif untuk meminimalisasi kemungkinan lahirnya stereotip
dan prasangka-prasangka yang dapat bermuara pada konflik destruktif. Hal ini
lantaran pendidikan multikultural menanamkan kesadaran bahwa keberbedaan dan
keragaman adalah design Tuhan yang tidak dapat dipungkiri. Dalam keragaman
justru terkandung nilai-nilai penting bagi pembangunan keimanan.[6]
Dalam Islam pendidikan berfungsi
untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari
Allah, yaitu menjalankan tugas hidup di muka bumi sebagai abdullah, yang harus
tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak Allah, mengabdi hanya
kepada Allah maupun sebagai khalifah Allah, baik menyangkut pelaksanaan tugas
ke khalifahan terhadap diri sendiri, rumah tangga, masyarakat dan tugas
kekhalifahan terhadap alam.[7] Menurut Muhaemin di antara tugas kekhalifahan
dalam masyarakat adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong menolong
dalam kebaikan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung)awab terhadap
amar makruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang
lemah dan lain- lain. Sementara yang berkaitan dengan tugas kekhalifahan yang
berkaitan dengan alam di antaranya membudayakan alam, mengalamkan budaya dan
mengislamkan kultur.
Nilai-nilai kekhalifahan sebagaimana
dimaksud Muhaemin tersebut akan lebih baik jika dilakukan tanpa pandang bulu
serta mengedepankan nilai amar ma’ruf nahi munkar. Ketika kedua nilai tersebut
bisa diterapkan dalam dunia pendidikan serta bisa menanamkan karakter tersebut,
maka kehidupan dalam bermasyarakat pun bisa menjadi sebuah kehidupan yang
nyaman, aman, dan tenteram.
Sedangkan nilai kekhalifahan dalam
hal membudayakan alam merupakan sikap yang harus ditanamkan untuk selalu
melestarikan alam, mengalamkan budaya termasuk sikap dalam bagaimana kita sebagai
khalifah bisa menjaga tradisi, adat, serta budaya disekitar kita. Mengislamkan
kultur sebagaimana telah dilakukan oleh para wali dalam menyebarkan agama Islam
di Indonesia, bahkan dalam ibadah haji sebagaimana diajarkan Rasuslullah
merupakan akulturasi dari kebudayaan masa jahiliyah.
Sebagai agama rahmatan li al-‘alamin,
Islam sesungguhnya memiliki perspektif yang konstruktif terhadap perdamaian dan
kerukunan hidup. Pada substansinya, Islam memandang manusia dan kemanusiaan
secara positif dan optimistik. Menurut pandangan Islam, semua manusia memiliki
asal yang sama, yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa.
Meskipun berasal dari moyang sama,
akan tetapi dalam perkembangannya terpecah menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum,
atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan dan peradaban yang
memiki ciri khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada, selanjutnya mendorong
mereka untuk bisa saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi satu sama lain.
Inilah yang kemudian oleh Islam dijadikan dasar perspektif “kesatuan umat
Islam” (universal humanity).
Islam seharusnya bisa kembali kepada
fitrahnya yaitu sebagai agama rahmatan 1 aPalamin. Agama seharusnya bisa
memotifasi ummatnya untuk menerapkan kerukunan antar sesama manusia tanpa
memandang perbedaan etnis, suku, bangsa, bahasa, budaya, dan bahkan agama.
Tujuan adanya pendidikan multikultural diantaranya adalah menghilangkan
diskriminasi antar golongan. Manusia mempunyai tugas kekhalifahan yang terkait
dengan kehidupan bermasyarakat. Islam merupakan agama yang cinta damai, akan
tetapi sungguh disayangkan ketika ada beberapa kelompok yang mengatasnamakan
agama kemudian menghancurkan tempat peribadatan agama lain (kasus di Ambon),
ataupun kelompok dari satu suku yang menyerang suku lain (sampit), dan
sebagainya.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas
dapat kami tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Multibudaya adalah suatu
pengakuan,penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang
menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun
komunitasnya yang bersifat kolektif.
2.
Multibudaya meliputi sebuah pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis lain.
3.
Islam sebagai agama rahmatan li al-'alami
seharusnya bisa memotifasi ummatnya untuk menerapkan kerukunan antar sesama
manusia tanpa memandang perbedaan etnis, suku, bangsa, bahasa, budaya, dan
bahkan agama
DAFTAR
PUSTAKA
Lihat Abduliah
Aly, 2011, Pendidikan
islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren
Modern Islam Assalaam Surakarta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dadang Supardan, 2007, Ilmu & Aplikasi Pendidikan Bagian 4: Pendidikan Lintas Bidang, Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama
Dadang supardan, 2007, ilmu& aplikasi pendidikan
bagian 4: Pendidikan lints bidang, jakarta:
PT Imperial bhakti Utam
Ngainun Naim & Achmad Syauqi, 2007, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi,
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 BAB III Pasal 4 Poin
(1)
[1] Lihat Abduliah
Aly, Pendidikan
islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren
Modern Islam Assalaam Surakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 91.
[2] Dadang Supardan, Ilmu & Aplikasi Pendidikan
Bagian 4: Pendidikan Lintas Bidang, (Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama, 2007) hlm.37
[3] Dadang supardan, ilmu&
aplikasi pendidikan bagian 4: Pendidikan lints bidang, (jakarta: PT Imperial
bhakti Utama,2007)hlm. 41-44
(Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 51
PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS MULTI-BUDAYA
Reviewed by Kharis Almumtaz
on
March 08, 2018
Rating:
