ANALISIS PERILAKU DALAM MENYIKAPI KESULITAN BELAJAR DI KELAS
KEKUATAN DAN KELEMAHAN PENDEKATAN
BEHAVIORIS
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pembelajaran Anak MI/SD
Dosen
Pengampu: Dr. Eva Latipah, M.Si/ Dr. Sumedi, M. Ag.
Disusun oleh :
Tejawati
1420421021
KONSENTRASI GURU KELAS
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
ALMUMTAZ.WIKI- Dalam
proses pembelajaran, tugas guru tidak hanya sekedar menyampaikan atau
mentransfer ilmu (transfer of knowledge) atau bahan pelajaran kepada
peserta didik. Guru sebagai pendidik dituntut untuk bertanggungjawab atas
perkembangan peserta didik. Karena itu guru dalam proses pembelajaran harus
memperhatikan kemampuan peserta didik secara individual, agar dapat membantu
perkembangan peserta didik secara optimal.[1]
Kenyataan
yang dapat kita jumpai bahwa tidak semua peserta didik mampu menguasai bahan
pelajaran yang disampaikan oleh guru. Siswa memiliki perbedaan dalam hal kemampuan
intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, serta perbedaan
kebiasaan dan pendekatan belajar.
Dengan
kata lain, guru dalam mengajar sering menjumpai peserta didik yang memiliki
perilaku sulit di kelas. Perilaku sulit berbeda dengan perilaku menyimpang
lainnya. Perilaku sulit lebih menitikberatkan pada perilaku siswa akibat mengalami
gangguan fisik atau faktor lainnya, sehingga mengalami kesulitan
belajar. Karena itu guru dituntut memiliki kemampuan mengenali peserta didik
yang mengalami kesulitan belajar, dan mencari faktor penyebab kesulitan belajar
tersebut. Selanjutnya, diharapkan guru dapat menentukan teknik untuk membantu
mengatasi kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik.
B.
Rumusan Masalah
Pembahasan
materi dalam makalah ini kami susun sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan kesulitan belajar?
2.
Bagaimana penerapan análisis perilaku
dalam menyikapi kesulitan
belajar di kelas?
3.
Apakah kekuatan
dan kelemahan pendekatan behavioristik?
BAB II
PEMBAHASAN
Perilaku sinonim dari aktivitas, aksi, kinerja,
respons, atau reaksi. Dengan kata lain, perilaku adalah segala sesuatu yang
dilakukan dan dikatakan oleh manusia. Secara teknis, perilaku adalah aktivitas
glandular, muscular, atau elektrikal seseorang. Termasuk perilaku adalah
tindakan-tindakan sederhana (simple
actions), seperti mengedipkan mata, menggerakkan jari tangan, melirik, dan
sebagainya.[2]
Kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada
peserta didik yang ditandai dengan adanya prestasi belajar yang rendah atau di
bawah norma yang telah ditetapkan.[3]
Kesulitan belajar juga dapat diartikan suatu kondisi dimana anak didik tidak
dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan atau gangguan
dalam belajar.[4]
Blassic dan Jones mengatakan bahwa kesulitan belajar
itu menunjukkan adanya suatu jarak antara prestasi akademik yang diharapkan
dengan prestasi yang dicapai oleh peserta didik (prestasi aktual). Selanjutnya
Blassic juga mengatakan bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah
peserta didik yang memiliki intelegensi normal, tetapi menujukkan satu atau
beberapa kekurangan yang penting dalam proses belajar, baik dalam persepsi,
ingatan, perhatian ataupun dalam fungsi motoriknya.[5]
Dengan kata lain bahwa peserta didik dikatakan mengalami kesulitan belajar bila
prestasi belajar yang dicapai tidak sesuai dengan kapasitas intelegensinya.
Dengan demikian kesulitan belajar tidak hanya dialami oleh peserta didik yang
intelegensinya rendah.
Kesulitan atau hambatan yang dialami oleh peserta
didik dapat berasal dari faktor fisiologik, psikologik, instrumen dan
lingkungan belajar. Kesulitan dan hambatan yang dialami peserta didik akan
mempengaruhi prestasi atau hasil belajar yang dicapai.[6]
Blassic dan Jones (1976) mengemukakan karateristik anak yang
mengalami kesulitan belajar dapat ditunjukkan dalam karakteristik behavioral,
fisikal, bicara dan bahasa, serta kemampuan intelektual dan prestasi belajar.
Disamping itu Sumadi Suryobroto (1984) mengemukakan bahwa peserta didik yang
mengalami kesulitan belajar dapat diketahu melalui kriteria-kriteria yang
sebenarnya merupakan harapan dan sekaligus kriteria tersebut merupakan
indikator bagi terjadinya kesulitan belajar. Adanya kesulitan belajar tersebut
dapat diketahui atas dasar:
a. Grade level, yaitu apabila anak tidak naik kelas sampai dua kali.
b. Age level, terjadi pada anak yang umurnya tidak sesuai dengan
kelasnya. Misalnya anak umur 10 tahun baru kelas 2 SD. Ketidaksesuaian kelas
ini bukan karena keterlambatan masuk sekolah, tetapi karena anak tersebut
mengalami kesulitan belajar.
c. Intelegensi level, terjadi pada anak yang mengalami under achiever.
d. General level, terjadi pada anak yang secara umum dapat mencapai prestasi
sesuai dengan harapan, tetapi ada beberapa mata pelajaran yang tidak dapat
dicapai sesuai dengan kriteria atau sangat rendah. Pada mata pelajaran yang
prestasinya rendah inilah siswa dianggap mengalami kesulitan belajar.[7]
Lebih lanjut Sumadi Suryabrata menggambarkan ciri-ciri anak
yang mengalami kesulitan belajar menunjukkan adanya gangguan: aktivitas
motorik, emosional, prestasi, persepsi, tidak dapat menangkap arti, membuat dan
menangkap simbol, perhatian, tidak dapat memperhatikan dan tidak dapat
mengalihkan perhatian, dan gangguan ingatan.[8]
2.
Faktor-Faktor Kesulitan Belajar
Fenomena
kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja
akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat
dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan
berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk
sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara
garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas
dua macam.[9]
a.
Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang
mum dari dalam diri siswa sendiri.
Faktor
intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1)
Bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti
rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa;
Rendahnya
intelektual/intelegensi bisa disebabkan karena faktor keturunan dan gangguan
fungsi otak. Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lamban belajar
mengalami gangguan pada syaraf otaknya. Anak yang lamban belajar memiliki
adanya sedikit tanda cedera pada otak. Oleh sebab itu, para ahli tidak terlalu
menganggap cedera otak sebagai penyebabnya, kecuali ahli syaraf membuktikan
masalah ini. Mereka menyebutnya sebagai "disfungsi otak " ketimbang
"cedera otak". Sebab, para ahli berpendapat bahwa sebenarnya sangat
sulit untuk memastikan bahwa kelambanan atau kesulitan belajar itu disebabkan
oleh cedera otak.
2)
Bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya
emosi dan sikap, hal ini bisa disebabkan karena usia yang terlampau muda;
3)
Bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti
terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
b.
Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang
datang dari luar diri siswa.
Faktor
ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak
mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini dapat dibagi tiga macam:
1)
Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan
antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2)
Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah
perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan
(peer group) yang nakal.
3)
Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung
sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar
yang berkualitas rendah, kurikulum sekolah terlalu berat, dll. [10]
Selain
faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor- faktor lain yang
juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Di antara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor
khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala
yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang
menimbulkan kesulitan belajar itu.
a.
Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar
membaca.
Secara sederhana,
"disleksia" dapat didefinisikan sebagai gangguan belajar membaca yang
ditunjukkan dengan kemampuan membacanya di bawah kemampuan yang sesungguhnya
dimiliki. Gejala dari kesulitan membaca ini adalah kemampuan membaca anak
berada di bawah tingkat inteligensi, usia, dan pendidikan yang dimilikinya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah
dengan penglihatan, tetapi merupakan ketidakmampuan otak mengolah dan memproses
informasi yang sedang dibaca anak tersebut Kesulitan ini biasanya baru
terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.[11]
Ciri anak yang mengalami
disleksia meliputi: Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan
proporsional; Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata; Sulit
menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata; Sulit
mengeja kata atau suku kata dengan benar; Anak bingung menghadapi huruf yang
mempunyai kemiripan bentuk seperti "b & d", "u &
n", "m & n"; Membaca satu kata dengan benar di satu halaman,
tapi salah di halaman lainnya; Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca; Sering
terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misal, "ratu"
menjadi "tam", atau "kucing duduk di atas meja" menjadi
"meja duduk di atas kucing".[12]
b.
Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan
belajar menulis.
Pada penderita disgrafia,
siswa memiliki kekurangan dalam penglihatan yang cukup jelas, keterampilan
motorik halus, pengetahuan tentang bahasa dan ejaan, dan otak untuk
mengkoordinasikan ide dengan mata dan tangan untuk menghasilkan tulisan.[13]
c.
Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan
belajar matematika.
Merupakan kesulitan dalam
menggunakan bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan
ide-ide yang berkaitan dengan jumlah dan kuantitas.[14]
Akan
tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya
memiliki potensi IQ yang normal bahkan di antaranya ada yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang
menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal
brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak
(Lask, 1985: Reber, 1988).[15]
B.
Penerapan Análisis Perilaku dalam
Menyikapi Kesulitan Belajar di Kelas
Secara
garis besar, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka mengatasi
kesulitan belajar anak didik, dapat dilakukan melalui enam tahap, yaitu
pengumpulan data, pengolahan data, diagnosis, prognosis, treatment, dan
evaluasi.[16]
Untuk
menemukan sumber penyebab kesulitan belajar di perlukan banyak informasi. Untuk
memperoleh informasi perlu diadakan pengamatan langsung terhadap objek yang bermasalah.
Pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman terhadap anak secara
holistik, lengkap dan menyeluruh. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
hal antara lain:
a. Teknik Non Tes
Teknik
nontes yang dimaksud di sini adalah teknik pengumpulan data atau keterangan
yang dilakukan dengan cara: wawancara, observasi, angket, sosiometri, biografi,
pemeriksaan kesehatan dan fisik, dan dokumentasi.
b. Teknik Tes
Tes
adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang
harus dijalankan, yang didasarkan atas jawaban testee terhadap
pertanyaan-pertanyaan atau melakukan perintah itu penyelidik mengambil
kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standar atau testee yang lain
(Sumadi Suryobroto, 1984).
Selanjutnya
dalam hal ini tes dibedakan menjadi dua yaitu tes hasil belajar dan tes
psikologis. Tes hasil belajar dan Tes psikologis.[17]
2.
Pengolahan
Data
Data
hasil wawancara, observasi, angket,
sosiometri, biografi, pemeriksaan kesehatan dan fisik, dan dokumentasi,
kemudian diolah untuk menuju langkah berikutnya, yaitu diagnosis.
Untuk
mengetahui peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dapat dilakukan
dengan cara menghimpun dan menganalisis hasil belajar serta menafsirkannya.
Dalam menafsirkan hasil belajar peserta didik harus digunakan norma atau
patokan nilai tertentu.
3.
Diagnosis
Maka
diagnosis kesulitan belajar dapat diartikan sebagai proses menentukan masalah
atau ketidakmampuan peserta didik dalam belajar dengan meneliti latar belakang
penyebabnya dan atau dengan cara menganalisis gejala-gejala kesulitan atau
hambatan belajar yang nampak.[18]
Setelah
kita menemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan belajar, maka
langkah berikutnya adalah menemukan di mana letak kesulitan belajar yang
dialami peserta didik. Dalam hal ini dapat kita lakukan dengan cara mengetahui
dalam mata pelajaran atau bidang studi apa kesulitan itu terjadi, kemudian
aspek atau bagian mana kesulitan belajar itu dirasakan oleh peserta didik.
Dalam
proses diagnosis langkah-langkah yang perlu diambil diantaranya yaitu:
a.
Menelaah
Status Siswa (Status Assesment)
Menelaah status siswa artinya mengetahui siapa siswa yang sebenarnya,
bagaimana dia, apa kekuatannya dan kelemahannya.
b.
Memperkirakan
Sebab Kesulitan Belajar (Cause Estimation)
Meliputi analisis kemampuna intelektualnya, visualnya, persepsi
motoriknya kondisi fisiologisnya, kondisi lingkungan sosialnya serta hubungan
dengan anggota keluarganya, temannya, serta lingkungan lainnya, sampai pada
cita-cita dan harapan orang tuanya.
c.
Menengakkan
Diagnosis atau Proses Pemecahan Kesulitan Belajar (Treatmen and Evaluation)
Merupakan langkah lanjutan setelah menemukan
sebab kesulitan, kemudian menguatkan tentang sebab atau tidak masalah yang
sebenarnya menjadi sumber kesulitan anak. Setelah itu baru dicari jalan keluar,
atau perlakuan yang diberikan. Ada beberapa kemungkinan treatment
yang bisa diberikan antara lain: menekankan aspek intelektual; menekankan atau
pendekatan pada aspek afektif dan motivasi; pendekatan melalui diagnotisk umum;
melalui konseling atau prognosa. [19]
Pada tahap ini perlu dipertimbangkan atau
diputuskan teknik apa yang akan dipakai, siapa yang akan memberikan bantuan,
siapa yang dilihatkan, dimana, serta bagaimana mengevaluasinya.
4.
Prognosis
Langkah
ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk
diatasi serta menentukan alternatif pemecahannya. Pendek kata, prognosis
merupakan aktivitas penyusunan rencana/program yang diharapkan dapat membantu
mengatasi masalah/kesulitan belajar.[20]
5.
Treatment
Beberapa
alternatif treatment atau perlakuan yang diberikan kepada siswa yang
terindikasi mengalami kesulitan belajar diantaranya:
a. Pengajaran Remedial dan Program Pengayaan
(termasuk akselerasi)
Bagi
peserta didik yang mengalami kesulitan belajar sehingga prestasi belajarnya
rendah, maka guru atau konselor sekolah sebagai personil yang bertanggung jawab
terhadap keberhasilan peserta didik, harus memberikan layanan bimbingan belajar
dengan baik. Pemberian layanan bimbingan belajar bagi peserta didik yang
mengalami kesulitan belajar lebih dikenal dengan pengajaran
remedial.
Sedangkan layanan bimbingan belajar bagi peserta didik yang
tidak mengalami kesulitan belajar karena nilainya yang memuaskan lebih dikenal
dengan pengajaran pengayaan atau enrichement.
Metode
yang dipakai untuk program remedial dan pengayaan diantaranya penguatan (reinforcement),
akselerasi (acceleration) dan pengajaran individual. Akselerasi adalah
usaha mempercepat pelaksanaan proses pembelajaran dalam arti menamah waktu dan
materi pengajaran untuk mengejar kekurangan yang dialami peserta didik. Jadi
dalam pengajaran remedial guru memeprcepat pengajaran dengan menambah frekuensi
pertemuan dan materi pengajaran.[21]
b. Program Khusus
Untuk
kesulitan belajar tipe diseleksia, diskalkulia dan disgrafia memerlukan langkah
khusus untuk mengatasinya. Berikut beberapa alternatif yang dapat ditempuh
untuk membantu siswa:
1)
Disleksia: teknik permainan tiba-tiba, lomba menamai benda, lagu
atau nyanyian, menonton televisi, dan role play.[22] Selain
itu dapat dilakukan metode ‘phonic’, merupakan metode yang digunakan untuk
mengajarkan anak yang mengalami disleksia agar dapat membaca melalui bunyi yang
dihasilkan oleh mulut.
2)
Disgrafia:
teknik yang dapat digunakan yaitu dengan menggunakan teknologi sebagai
pengganti menulis, misalnya: laptop/notebook, alat perekam, dsb. Sedangkan dari
segi tes, teknik yang dapat digunakan akan adalah tes lisan, take home test,
tes pilihan ganda, dsb.
3)
Diskalkulia:
buatlah pembelajaran matematika yang berorientasi dunia sekitar siswa, berikan
siswa kebebasan bergerak, tuntaskanlah dalam mengajar, belajar sambil bermain,
harmonisasi hubungan guru, siswa dan orang tua serta pendekatan tutor sebaya (peer
tutoring).[23]
6.
Evaluasi
Proses evaluasi dapat dilakukan dengan langkah
sebagai berikut:
a. Pengukuran kembali hasil belajar
Setelah
pengajaran remedial dan pengayaan selesai, selanjutnya diadakan pengukuran
terhadap perubahan pada diri peserta didik yang bersangkutan. Pengukuran ini
untuk mengetahui kesesuaian antara rencana dengan pencapaian hasil yang
diperolehnya.
b. Re-evaluasi dan re-diagnostik.[24]
Hasil
pengukuran pada proses evaluasi ditafsirkan dengan menggunakan cara dan
kriteria seperti pada proses pembelajaran yang sesungguhnya. Hasil penafsiran
tersebut akan menghasilkan tiga kemungkinan sebagai berikut:
1)
Peserta didik menunjukkan peningkatan prestasi dan kemampuan
penyesuaiannya mencapai kriteria keberhasilan minimum seperti yang diharapkan.
2)
Peserta didik menunjukkan peningkatan prestasi dan kemampuan
penyesuaian dirinya, tetapi belum sepenuhnya memadai kriteria kebehasilan
minimum yang diharapkan.
3)
Peserta didik menunjukkan perubahan yang berarti, baik dalam
prestasinya maupun kemampuan penyesuaian dirinya.
Aliran behaviorisme mendapatkan
beberapa tanggapan yang bersifat kurang efisien dalam pembelajaran karena tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks. Disamping itu aliran ini juga
dianggap efisien dan mempunyai banyak kelebihan dalam pembelajaran. Berikut
penjelasan mengenai kekurangan dan kelebihan pada aliran behaviorisme dalam
pembelajaran.
1.
Kelebihan Teori Belajar Behavioristik
a. Penguatan yang diberikan karena
menyelesaikan tugas-tugas akademis bisa mendorong siswa untuk melakukannya
lebih cepat alih-alih dengan tugas.[25]
b. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan
kondisi belajar.
c. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid
dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada
guru yang bersangkutan.
d. Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan mendapatkan
pengakuan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif
yang didasari pada perilaku yang tampak.
e. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan,
dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat
dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut
dan lebih optimal.
f. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu mampu
menghasilkan suatu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
g. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimulus yang lainnya
dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul.
h. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan
daya tahan.
i.
Teori behavioristik
juga cocok diterapkan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung.[26]
2.
Kekurangan Teori Belajar Behavioristik
- Usaha-usaha mengubah perilaku mengabaikan faktor-faktor kognitif yang potensial mengganggu proses belajar.
- Penguatan ekstrinsik terhadap sebuah aktivitas yang dianggap siswa sudah menguatkan secara intrinsik malah dapat mengurangi kesenangan siswa terhadap aktivitas tersebut.[27]
- Sebuah konsekuensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
- Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini.
- Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
- Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
- Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh guru.
- Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan dari guru dan mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
- Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
- Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
- Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.[28]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini dapat
disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada
peserta didik yang ditandai dengan adanya prestasi belajar yang rendah atau di
bawah norma yang telah ditetapkan, yang disebabkan adanya faktor internal dan
eksternal.
Secara
garis besar,
langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka mengatasi kesulitan belajar
anak didik, dapat dilakukan melalui enam tahap, yaitu pengumpulan data,
pengolahan data, diagnosis, prognosis, treatment, dan evaluasi.
Kelebihan teori belajar
behavioristik diantaranya: a) Bahan
pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang
ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu mampu menghasilkan suatu
perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu; b) Teori ini cocok untuk
memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung
unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan; c) Guru
tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri;
d) Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif
dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada
prilaku yang tampak, dll. Sedangkan
kekurangan teori belajar behavioristik diantaranya: a) Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap
sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa; b)
Murid dipanang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi
oleh penguatan yang diberikan oleh guru; c) Cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa
sebagai individu yang pasif; d) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher
centered learning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil
yang dapat diamati dan diukur, dll.
ALMUMTAZ.WIKI
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar,
Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Asrori, Mohammad, Psikologi Pembelajaran, Bandung: Wacana Prima,
2008.
Idris, Ridwan, Mengatasi
Kesulitan Belajar dengan Pendekatan Psikologi Kognitif, Makassar: Lentera
Pendidikan, 2009.
Ormrod, Jeanne Ellis, Psikologi Pendidikan Membantu
Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Erlangga, 2008.
Sriyanti, Lilik, Psikologi Belajar, Yogyakarta:
Ombak, 2013.
Subini, Nini, dkk, Psikologi Pembelajaran,
Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2012.
Sugihartono, dkk, Psikologi Pendidikan,
Yogyakarta: UNY Press, 2007.
Sunardi, Modifikasi
Perilaku, Bandung: PLB FIP UPI, 2010.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustofa. Belajar
dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-ruzz Media,
2011.
[2]
Sunardi, Modifikasi Perilaku,
(Bandung: PLB FIP UPI, 2010), hlm. 1.
[13] Ridwan
Idris, Mengatasi Kesulitan Belajar dengan Pendekatan Psikologi Kognitif,
(Makassar: Lentera Pendidikan, 2009), hlm. 165.
[25] Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan Membantu
Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 466.
[26] Muhammad Thobroni dan Arif Mustofa. Belajar
dan Pembelajaran. (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2011), hlm. 85.
ANALISIS PERILAKU DALAM MENYIKAPI KESULITAN BELAJAR DI KELAS
Reviewed by Kharis Almumtaz
on
June 25, 2018
Rating:
