TEORI PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu : DR. Karwadi, M.Ag
Disusun oleh : Kharis Syuhud
Mujahada
Mahasiswa S3 Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan FITK
Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: kharisalmumtaz@gmail.com
PENDAHULUAN
A.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN ISLAM
Dalam
rangka yang lebih terinci, M. Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian, bahwa;
“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani
dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam
menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan
menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatannya, manis dan pahitnya.
Sementara
itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu “proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di
dunia dan memetik hasilnya di akhirat. [1]
Secara derivatif Islam itu sendiri, memuat berbagai makna, salah satu
diantaranya yaitu kata Sullam yang makna asalnya adalah tangga. Dalam kaitan
dengan pendidikan, makna ini setara dengan makna “peningkatan kualitas” sumber
daya insani (layaknya tangga, meningkat naik).
Selain
itu, Islam juga ditengarai sebagai bentukan dari kata istislam (penyerahan diri
sepenuhnya keada ketentuan Allah), salama (keselamatan), dan salima,
(kesejahteraan). Dengan demikian, secara terminologis pengertian Islam tak
dapat dilepaskan dari makna kata asal dimaksud. Untuk jelasnya, maka konsep
pendidikan menurut pandangan Islam harus dirujuk dari berbagai aspek, antara
lain aspek keagamaan, kesejahteraan, kebahasaan, ruang lingkup, dan aspek
tanggung jawab. Adapun yang dimaksud dengan aspek keagamaan adalah bagaimana
hubungan Islam sebagai agama dengan pendidikan. Sedangkan aspek kesejahteraan
merujuk kepada latar belakang sejarah pemikiran para ahli tentang pendidikan
dalam Islam dari zaman ke zaman, khusus ada tidaknya peran Islam dalam bidang
pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
Kemudian
yang dimaksud dengan aspek kebahasaan adalah bagaimana pembentukan konsep
pendidikan atas dasar pemahaman secara etimlogi. Selanjutnya asek ruang lingkup
diperlukan untuk mengetahui tentang batas-batas kewenangan pendidikan menurut
agama Islam. Untuk mengetahui hal itu perlu pula digunakan pendekatan yang
didasarkan kepada aspek tanggung jawab kependidikan itu sendiri. Tanggung jawab
dalam pandangan Islam sangat penting, sebab ia merupakan bagian dari amanat
yang harus dilakoni oleh manusia. Sehubungan dengan itu, maka Islam dalam
ajarannya senantiasa menempatkan kewajiban lebih dulu, baru sesudah itu
penuntutan terhadap hak. Makanya manusia harus mendahulukan kewajiban
pengabdiannya kepada Allah, sesudah itu baru diberi hak (peluang) untuk mohon
pertolongan. (QS. 1: 4-5) [2]
Di
dalam masyarakat Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan
untuk menandai konsep pendidikan, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Istilah
yang berkembang secara umum di dunia Arab adalah tarbiyah. Penggunaan istilah
tarbiyah untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam, meskipun telah berlaku
umum, ternyata masih merupakan masalah khilafiyah (kontraversial). Di antara
ulama pendidikan muslim kontemporer ada yang cenderung menggunakan istilah
ta’lim atau ta’dib sebagai gantinya . [3]
B.
MACAM-MACAM
ISTILAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM
1.
At-Ta’dib
Adab
adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin yang menegaskan pengenalan dan
pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan jasmaniah,
intelektual, dan ruhaniah, pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu
dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajatnya.
Kita
nyatakan bahwa adab dikenal sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan.
Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri
manusia sebagai makhluk sosial sebagai diri individu. Baik dalam konsep manusia yang baik berarti
teat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan disini, yakni
meliputi kehidupan material dan spiritual manusia.
Bagi
al-Attas konsep ta’dib untuk pendidikan Islam adalah lebih tepat dari
at-Tarbiyah dan at-Ta’lim. Sedangkan
tarbiyah dalam pandangannya mencangkup objek yang lebih luas, bukan saja
terbatas pada pendidikan manusia tetapi juga meliputi dunia hewan. Sedangkan
ta’dib hanya mencakup pengertian pendidikan untuk manusia. Sementara Dr. Fatah Abdul Jalal beranggapan
sebaliknya karena yang lebih sesuai menurutnya justru at-Ta’lim.
Kedatipun
demikian, mayoritas ahli kependidikan Islam tampaknya lebih setuju
mengembangkan istilah tarbiyah (pendidikan, education) dalam merumuskan dan
menyusun konsep pendidikan Islam dibandingkan istilah ta’lim (pengajaran, instruction)
dan ta’dib (pendidikan khusus, bagi al-Attas berarti pendidikan), mengingat
cakupan yang mencerminkannya lebih luas, dan bahkan istilah tarbiyah sekaligus
memuat makna dan maksud yang dikandung istilah ta’lim dan ta’dib.
Dengan
jelas dan sistematik, al-Attas menurunkan penjelasan sebagai berikut:
1. Menurut
tradisi bahasa Arab, istilah ta’dib mengandung tiga unsur: pembangunan iman,
ilmu, dan amal. Iman adalah pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu.
Iman tanpa ilmu adalah bodoh. Sebaliknya, ilmu harus dilandasi iman. Ilmu tanpa
iman adalah sombong. Dan akhirnya iman dan ilmu dimanifestasikan dalam bentuk
amal, sehingga tidak dikatakan iman yang lemah dan ilmu yang tidak bermanfaat.
2. Dalam
hadits Nabi yang terdahulu secara ekplisit dipakai istilah ta’dib dari addaba
yang berarti mendidik. Cara Tuhan mendidik Nabi, tentu saja mengandung konsep
pendidikan yang sempurna.
3. Dalam
kerangka pendidikan, istilah ta’dib mengandung arti: ilmu, pengajaran, dan
pengasuhan yang baik. Karena menurut konsep Islam, yang bisa dan bahkan harus
dididik adlah manusia.
4. Dan
akhirnya, al-Attas menekankan pentingnya pembinaan tatakrama, sopan-santun,
adab dan semacamnya, atau secara tegas, akhlak yang terpuji yang hanya terdapat
dalam istilah ta’dib.
Konsekuensi
yang timbul akibat tidak dipakainya konsep ta’dib sebagai pendidikan dan proses
pendidikan adalah hilangnya adab, yang berarti hilangnya keadilan yang
menimbulkan kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan, yang mana itu terjadi
di kalangan muslimin masa kini. Berkenaan dengan masyarakat dan umat,
kebingungan dan kesalahan dalam “pengetahuan” tentang Islam menciptakan kondisi
yang memungkinkan pemimpin-pemimpin yang palsu dalam segala bidang kehidupan
bisa tampil dan tumbuh subur serta akan menimbulkan kondisi kezaliman. [4]
2.
At-Ta’lim
Menurut
Abdul Fatah Jalal, proses ta’lim justru lebih universal dibandingkan dengan
proses tarbiyah. Ia mengutip al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 31 sebagai
berikut:
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku
nama (semua) benda ini jika kamu yang benar!"
Jadi,
berdasarkan analisis diatas itu Jalal menyimpulkan bahwa menurut al-Qur’an,
ta’lim lebih luas dari tarbiyah. Berbeda dengan al-Attas, Jalal tidak
membandingkan dengan ta’dib. Jalal
mengemukakan konsep-konsep pendidikan yang terkandung didalamnya sebagai
berikut:
Pertama,
ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus-menerus sejak manusia lahir
melalui pengembangan funsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati. Kedua,
ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah (domain) kgnisi
semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi.[5]
3.
Ar-Riyadhah
Zakiyah
Daradjat sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengatakan bahwa pendidikan Jasmani
adalah pendidikan yang berhubungan dengan tubuh manusia. Ia memegang peranan
penting dalam semua tingkah laku dan amal perbuatannya, baik yang berhubungan
dengan Allah maupun dengan sesamanya dan makhluk lainnya.
Sehubungan
dengan hal tersebut, maka Ramayulis mengatakan bahwa mendidik jasmani dalam
Islam adalah memiliki dua tujuan sekaligus, yaitu pertama, membina tubuh
sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi
potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai dengan perkembangan
fisik manusia. Sedangkan Abdurrahman Saleh menambahkan bahwa pendidikan harus
mempunyai tujuan ke arah keteramilan-keterampilan fisik yang dianggap perlu
bagi teguhnya keperkasaan tubuh yang sehat, juga menghindari situasi-situasi
yang mengancam kesehatan fisik para pelajar.
Fisik
adalah cover bagi semua komponen rohaniah manusia yang harus dijaga
kesehatannya. Sebab antara jasmaniah dan rohaniah mempunyai keterkaitan yang
sangat erat. Jika salah satu dari keduanya sakit, maka kualitas keduanya akan
merosok dan bahkan akan menjadi fatal. [6]
Ar-Riyadhah
berasal dari kata raudha, yang mengandung arti penjinakan, latihan, melatih.
Dalam pendidikan, kata Ar-Riyadhah diartikan mendidik jiwa anak dan akhlak mulia.
Kata Ar-Riyadhah selanjutnya banyak digunakan dikalangan para ahli tasawuf dan
diartikan agak berbeda dengan arti yang digunakan para ahli pendidikan
dikalangan para ahli tasawuf Ar-Riyadhah
diartikan latihan spiritual rohaniah dengan cara khalwat dan uzlah
(menyepi dan menyendiri) disertai perasaan batin yang takwa.[7]
4.
At-Tadrib
Tadrib
disini lebih kepada ranah psikomotorik cakupannya, anak didik dilatih menjadi
dan memiliki keperibadian yang tinggi, dan mampu melakukan dan meng-aplikasikan
pengetahuan serta mengamalkannya dengan baik dan benar. Dengan demikian anak
didik menjadi orang yang beramal saleh dan kemudian mendapatkan kebahagian di
dunia dan akhirat.
Melalui
pelatihan-pelatiahan yang terus menerus dan berulang-ulang dalam pembelajaran
akan memberi bekas pada diri anak didik, sehingga pembelajaran benar-benar
terserap dan tahan lama. Dengan demikian anak didik dapat memiliki
potensi-potensi kemudian ahli di bidangnya.
Dalam
pendidikan islam tadrib sangat ditekankan penerapannya, bukan sebagai kognitif
sahaja yang tidak berpengaruh apa-apa bagi anak didik, akan tetapi harus ada
tadrib yang bisa dijadikan pedoman dalam pengamalan ibadah khususnya dan
perilaku secara umum. Dengan demikian tujuan pendidikan Islam benar-benar
terlaksana dan pencapaian yang maksimal. Tidak sebatas teori dan kurikulum yang
wajib diikuti disetiap jam kelasnya. Akan tetapi ada keterikatan antara
pembelajaran dengan kehidupan lingkungan anak didik yang nyata.
Dari
sisi beban tanggung jawab agamanya, maka perjalanan hidup manusia terbagi dalam
tiga periode: masa pra-latih (di bawah 7 tahun), masa pelatihan/ tadrib (7 - 12
tahun), dan masa pembebanan/taklif (di atas 12 tahun).
C.
DASAR
DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Prof.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyatakan bahwa dasar pendidikan Islam
identik dengan dasar tujuan Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu
al-Qur’an dan Hadits. Atas dasar pemikiran tersebut, maka para ahli didik dan
pemikir pendidikan Muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam dengan
merujuk kedua sumber utama ini, dengan bantuan berbagai metode dan pendekatan
seperti qiyas, ijma’, ijtihad, dan tafsir. Sedangkan tujuan pendidikan
dihasilkan dari rumusan kehendak dan cita-cita yang akan dicapai, yang menurut
pertimbangan dapat memberi kebahagiaan dan makna hidup bagi manusia, baik dunia
maupun akhirat. [8]
TEORI
pendidikan secara komprehensif dan saling melengkapi dari kalangan ahli
pendidikan Muslim tidak akan dapat dite- mukan. Secara "induktiF, hanya
ditemukan teori-teori yang mi- rip yang tersebar dalam ragam karya tulis dan
risalah para ahli. Banyak faktor penyebab tidak adanya teori pendidikan secara
komprehensif, diantaranya adalah:
1.
Terjadinya polarisasi pemikiran
pendidikan antara yang ber- sifat rasional-filosofis dengan yang bersifat
agamis-mumi. Bila dicermati risalah-risalah pendidikan yang ditulis oleh al-
Ghazali, al-Qabisi, Ibnu Sahnun, Ibnu Jama'ah, Ibnu Hajar al- Haitami dan
Nashiruddin al-Thusi, maka akan tampak orien- tasi murni keagamaan dalam
pendidikan mereka. Dari sini, pendidikan bagi mereka mengandung pengertian
ta'dib (mo- ralisasi).
Al-Thusi
menamakan risalahnya Adah al-Muta'allimvn, Ibnu Jama*ah menyebut risalahnya
al-SamV wa al-Mutakallim fi Adabi al-'Alim wa al-Muta'alim, Ibnu Hajar
al-Haitami, Tahrir al-Maqal fi Adah wa Ahkam wa Fawa'id Ma Yahtaj] ilaiha
Mu'addib al-Athfal, dan Sahnun memberi nama risalahnya Adah al-Mu'allimin.
Sementara itu, risalah al-Qabisi diberi na¬ma al-Risalah al-Mufashshalah li
Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam al-Muta'allimin wa al-Mu'allimin. Jelaslah bahwa
al-Adab dan al-Ta'dib merefleksikan harapan- harapan masyarakat terhadap anak
dan remaja agar bersedia menghormati institusi dan pranata sosial yang ada dan
pola pemikiran umum yang berkembang. Para ahli pendidikan tersebut memiliki
kecenderungan kuat "moralisasi" hingga menyedot sebagian besar
perhatiannya terhadap hal-hal se- pele yang membuat kita heran, misal perihal
tata cara duduk di hadapan guru, berdiri tegak dengan dua tangan di atas dada
di hadapan orang sepuh, melarang anak kecil berbicara di dekat orang yang sudah
tua dan mencegah mereka agar ti- dak membantah omongan orang tua. Semua ini
sungguh jelas-jelas salah. Bahkan para pengkaji pemikiran-pemikiran kalangan
ahli pendidikan Muslim tersebut akan merasa tidak sreg karena mendapati terlalu
banyak paparan seputar ragam jenis makanan, hubungannya dengan lendir
tenggorokan, hu- bungannya dengan kekerasan hati dan keengganan berpikir,
mengajar dan sebagainya. Hanya saja, bagi pengkaji yang memahami konteks yang
melingkupi kehidupan kalangan ahli pendidikan Muslim tersebut, barangkali
dapat. me- maklumi kecenderungan pemikiran mereka. Selanjutnya, pengkaji yang
menelaah pemikiran kalangan Rasionalis ahli pendidikan Muslim seperti Ikhwan
al-Shafa, Ibnu Miska- waih, al-Farabi dan Ibnu Sina, akan menemukan eksplorasi
intelektual dalam rangka membangun konsep guru, hakikat ilmu pengetahuan, tata
cara memperolehnya, penafsiran so- siologi pengetahuan dan hal-hal substantif
lainnya. Dua pa¬norama alur pemikiran demikian, terkecuali Ikhwan al-Shafa dan
Ibnu Khaldun, berimplikasi pada polarisasi pemikiran di antara dua aliran ahli
pendidikan, sehingga sirnalah peluang bagi pemekaran teori pendidikan
komprehensif dalam berba- gai dimensinya: rasional, psikologis, moral-etik dan
sosiologis.
2.
Sebagian besar risalah-risalah
pendidikan Islam diorientasi- kan untuk penuntut ilmu/subjek didik tingkat
lanjut. Risalah Ayyuh al-Walad ditujukan untuk pelajar tingkat lanjut dari
murid-murid al-Ghazali. Risalah Ibnu Jama'ah tiada lain ada-lah tanggapan
terhadap serangkaian persoalan seputar fikih yang diajukan kepadanya oleh para
praktisi hukum Islam. Demikian juga risalah-risalah al-Qabisi, al-Thusi dan
Ibnu Sahnun. Tampaknya hanya karya Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Khaldun yang
berorientasi pada pendidikan dalam penger- tian seperti yang kita pahami
sekarang ini. Dalam pemikiran keduanya itu, secara signifikan tercetus
"rekonsiliasi" antara dimensi rasional, psikologis, moral-etik dan
sosiologis bagi keilmuan pendidikan.
Namun
demikian, adanya kegagalan dalam membangun teori pendidikan yang komprehensif,
mengacu pada gagasan Plato di Republics misalnya, tidak sepantasnya membawa
kita berharap terlalu banyak pada tokoh-tokoh pemikiran pendi¬dikan Islam
sebagaimana harapan pada diri kita sendiri secara analitik-ilmiah dalam
pemikiran pendidikan. Sebab bila demi¬kian, sama halnya dengan menjatuhkan
beban berlebihan di atas pundak mereka. Kewajiban kita adalah melihat pemikiran
pendidikan mereka dengan perspektif masa mereka hidup dan mengeksplorasi
intelektualnya hingga menghasilkan buah pe¬mikiran sebaik-mungkin. Dengan
demikian, kita akan mampu memetik serangkaian prinsip-prinsip utama pendidikan
yang tersebar dalam beberapa risalah dan karya tulis mereka, lalu menatanya
dalam konstruksi yang utuh, sehingga membentuk teori pendidikan yang
komprehensif.
Hal
yang mungkin dilakukan adalah menghimpun prinsip- prinsip utama pendidikan
mereka ke dalam enam bagian:
1.
Konsep pengajaran atau pembelajaran
2.
Dasar-dasar psikologis aktivitas belajar
3.
Pemahaman tentang subjek didik dan
kejiwaannya
4.
Metode pengajaran atau pembelajaran
5.
Konsep guru
6.
Penyiapan individu yang mampu berperan
dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
D. KONSEP PENGAJARAN/PEMBELAJARAN
Para ahli pendidikan Muslim menyadari
sepenuhnya bahwa pengajaran/pembelajaran merupakan hal yang sangat unik dan
kompleks, sebagaimana profesi-profesi lain, yang menuntut di- milikinya
persyaratan-persyaratan tertentu oleh orang yang me- nekuninya. Ibnu Abdun
berkata, "Sesungguhnya pengajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan,
ketram- pilan dan kecermatan, karena ia sama halnya dengan pelatihan kecakapan
yang memerlukan kiat, strategi dan ketelatenan, se- hingga menjadi cakap dan
profesionar'.[9]
Senada dengan hal itu, Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menegaskan,
"Di antara hal yang menunjukkan bahwa
pengajaran itu merupakan "profesi"... adalah terjadinya keragaman
istilah penyebutan. Tiap- tiap Mahaguru (para Imam) mempunyai
istilah sendiri bagi peng- ajarannya. Ini berarti istilah dimaksud bukanlah
termasuk ke- ilmuan; sebab, jika termasuk keilmuan, tentunya akan seragam.
Kesungguhan mengikuti forum-forum ilmiah, banyak menghafal dan tekun menuntut
ilmu tidaklah mesti menghasilkan kecakapan dan kepakaran dalam keilmuan dan
pengajaran. Salah satu hal yang melekat pada ilmu adalah kecerdasan dalam
berucap dan ber- diskusi dan tindakan nyata untuk merriiliki kecakapan adalah
keca¬kapan pengajaran".
Bermula
dari perspektif profesionalitas-teknikalis, para ahli pendidikan Muslim
membedakan secara tegas antara pendi¬dikan (ial-tarbiyah) dan pengajaran
(al-ta'lim). Menurut mereka, yang pertama ruang lingkupnya lebih luas dibanding
yang ke- dua. Maka dari itu, al-Ghazali menasihati orang-orang yang bertanggung
jawab atas anak-anak agar menyadari sepenuh- nya.
“Pendidikan
anak tidak hanya terbatas pada pengajaran semata. Si penanggung jawab
berkewajiban mengawasi anak dari hal sekecil dan sedini mungkin. Ia jangan
sampai menyerahkan anak yang berada di bawah tanggung jawabnya untuk diasuh dan
disusui ke- cuali oleh perempuan yang baik, agamis dan hanya memakan se- suatu
yang halal. Seyogyanya, secara cermat mengawasi anak se- menjak dini,
menumbuhkembangkan rasa malu pada diri anak, dan mengarahkannya agar tidak
berlebih-lebihan dalam makan dan minum". Al-Ghazali lebih jelas menambahkan,
"pendidikan itu mi- rip seperti pekerjaan seorang petani yang menyiangi
duri dan re- rumputan agar tanamannya bisa tumbuh dan berkembang dengan
baik".[10]
Keseriusan
menangani urusan anak membawa para ahli pen-didikan ,pada kesadaran bahwa
aktivitas pendidikan dimulai dari semenjak awal kehidupan. Dalam risalah
politiknya, Ibnu Sina mengatakan, "Sudah menjadi kewajiban orang tua
memberi nama yang baik untuk anaknya dan memilih sang perempuan yang akan
menyusui dan mengasuhnya. Jangan sampai berupa perempuan yang lemah akal dan
liar atau perempuan yang mengidap jenis penyakit menular". Bila anak telah
disa- pih, mulailah dengan pendidikan moral dan pembentukan akh-lak, sebelum ia
terlanjur mencerap moral tercela dan perangai hina. Sebab, anak akan gampang
dengan segera menerima mo- ral jelek dan rangsangan-rangsangan buruk dari luar.
Bila ia terus-menerus menerima rangsangan buruk, maka akan sulit baginya lepas
dari perangai jelek. Oleh karena itu, seharusnya pendidik menjauhkan anak dari
moral buruk.
Kecenderungan
mereka memahami kenyataan yang sebenarnya dari proses pengajaran, mengarahkan
pada perenungan tentang peran bahasa dalam proses ini dan menyadarkan me-reka
akan arti penting bahasa sebagai instrumen utama pendi-dikan, karena bahasa
mentransmisikan kata-kata yang mengan- dung arti ke rasio subjek didik yang
terkadang menyusahkan proses belajar. Ibnu Khaldun menganggap bahasa sama
halnya dengan "tirai" yang
menuttipi realitas kebenaran dari rasio dan menuntut subjek didik agar serins
berusaha melampaui ide-ide pemikiran (fanatisme ide, pent.) sebelum tekun
konsentrasi bel- ajar. Ibnu Khaldun mengingatkan para subjek didik dan guru
terhadap empat hal yang mencirikan kata-kata, yaitu:
1. relasi
makna antara bahasa tulis dengan bahasa lisan/ucap
2. relasi
makna antara bahasa ucap dengan arti yang dikehen- daki
3. tata
aturan dalam susunan makna untuk bisa menunjukkan maksud tertentu berangkat
dari struktur baku sebagaimana pada tata logika
4. makna-makna
"substansif" yang dihasilkan dari relasi "da- lam" struktur
bahasa. [11]
Secara
umum, patut kita cermati bahwasanya pergumulan intens dengan profesi
pengajaran, telah mengantarkan para pe- mikir Muslim pada penolakan warisan
sebagai prinsip dasar pembelajaran, sebaliknya pandangan kesiapan belajarlah
yang menjadi prinsip dasar pembelajaran. Ibnu Miskawih mengata- kan,
"Akhlak manusia sama sekali bukan hal alamiah, dan juga bukan tidak
alamiah. Sebab, pada dasarnya secara alamiah kita menerima akhlak, namun ia
bisa dibentuk dengan ta'dib (mo- ralisasi), baik cepat atau lambat. Inilah
pendapat yang saya anggap benar, karena sudah saya buktikan secara
empiris".[12]
E. DASAR-DASAR PSIKOLOGIS PROSES PEMBELAJARAN
Berangkat
dari kajian konsep pengajaran, terdapat beberapa da¬sar psikologis pendidikan
yang sangat penting yang bisa diam- bil dari pemikiran para ahli pendidikan
Muslim. Hal pertama kali yang mereka sadari, bahwa al-idrak (kognisi) adalah
dasar utama pembelajaran. Al-Thusi berkata; "Seorang subjek didik tidak
bisa memperoleh sesuatu yang tidak ia pahamh Karena itu, mengharuskan si subjek
didik agar mengawali aktivitas belajar dari hal yang paling dekat dengan
pemahamannya. Dan hen- daknya juga guru membatasi diri mengajarkan materi yang
se- suai dengan kadar pemahaman subjek didiknya. Ia tidak boleh mengajarkan
materi di luar kemampuan nalar subjek didik, sehingga bisa menjadikannya putus
asa atau semakin bebal".
Al-Ghazali
dalam Iliya' mengatakan "Sekiranya subjek didik bersusah-payah untuk
memperoleh ilmu dengan usaha yang melebihi kemampuan dirinya dan (bahkan) sang
guru sendiri pun merasa khawatir untuk melarangnya, hendaklah ia ber- pesan
agar subjek didik peduli terhadap dirinya sendiri", kata Ibnu Jama'ah
dalam Tadzkirat al-Sami'. Para ahli pendidikan Muslim mengharuskan guru untuk
memberi perlakuan yang berbeda terhadap subjek didik yang cerdas dan subjek
didik yang berkemampuan terbatas. Guru mengajarkan materi yang jelas dan
sederhana, agar dapat dipahami oleh subjek didik yang berkemampuan terbatas
ini; jangan sampai guru menyam- paikan kepadanya materi yang rumit dan
kompleks, sebab hal ini dapat menyurutkan minat dan animonya untuk belajar [ah
Ghazali dalam Ihya'].
Bukti
kesadaran para ahli pendidikan Muslim akan adanya hubungan erat antara
potensi-potensi intelektual subjek didik dengan materi keilmuan yang diajarkan
padanya, Ibnu Jama'ah mengingatkan para guru mengenai keharusan mereka mem-
beberkan dan memerinci materi yang disampaikan, sehingga mudah dipahami oleh
para subjek didik, dan ini merupakan ke- teladanan yang telah ditunjukkan Nabi;
"Perftbicaraannya be- gitu terperinci dan gamblang, sehingga yang
mendengar mu¬dah memahaminya. Sewaktu mengucapkan kata-kata penting, diulangnya
tiga kali agar dipahami, dan di saat rampung mem- bicarakan suatu persoalan,
beliau berhenti sejenak memberi ke- sempatan orang lain bertanya atau
berbicara", demikian kata Ibnu Jama'ah dalam Tadzkirat al-Sami'.
Berdasarkan
hal itu, para ahli pertdidikan Muslim melarang pencampuran ragam ilmu untuk
diajarkan kepada subjek didik pemula, karena dikhawatirkan bisa mengacaukan
pikirannya. Ibnu Khaldun berkata, "Termasuk pola elok dan cara yang ha-
rus ditempuh dalam pengajaran adalah tidak dicampurnya dua (atau lebih)
disiplin ilmu untuk diajarkan pada subjek didik". Ia menuntut agar
pengajaran ragam ilmu pengetahuan dilakukan secara bertahap, dari yang
sederhana menuju hal yang kom- pleks seiring dengan taraf kematangan dan
kesanggupan subjek didik dalam menguasainya. "Apabila hal yang semestinya
di¬ajarkan pada tingkat lanjut, diajarkan pada tingkat awal, maka ia akan
mengalami ketidaksanggupan dalam memahami dan jauh dari kesiapan diri untuk
belajar, sehingga perolehan ilmu terasa amat sulit. Selanjutnya, ia menjadi
malas dan berpaling dari konsentrasi belajar. Dan hal ini akan berakibat pada
jelek- nya pengajaran".[13] Termasuk prinsip dasar pendidikan, adalah
penegasan para ahli pendidikan Muslim bahwa usia yang pan- tas untuk pengajaran
awal adalah enam tahun. Ibnu Sina dalam al-Qanun berkata, "Jika usia anak
telah mencapai enam tahun, maka ia sudah seharusnya dibawa kepada guru untuk
belajar serius dan intensif".
F.
PEMAHAMAN
TENTANG SUBJEK- DIDIK
Para
ahli pendidikan Muslim sejak awal menyadari sepenuhnya bahwa pemahaman tentang
kejiwaan anak merupakan dasar pi- jakan bagi keberhasilan pengajaran. Ibnu Sina
berkata dalam al- Qanun,
"Adalah
sebuah keharusan, perhatian diarahkan pada pemeliharaan akhlak anak, yakni
dengan menjaganya agar tidak mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya
melalui perhatian sek- sama yang dilakukan anak atas perihal dirinya dan apa
yang dibu- tuhkannya. Hal ini mempunyai dua kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak
dan kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini tumbuh de¬ngan (kebiasaan)
akhlak mulia. sesuai bahan makanan yang dikon- sumsinya dan akhlak mulia ini
dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus".[14]
Berangkat
dari tuntutan atas keharusan memahami perihal diri anak, para ahli pendidikan
Muslim mempersyaratkan ter- lebih dahulu memahami lingkungan sosial anak,
terutama ling- kungan keluarganya. Disebutkan dalam Kitab al-lrsyad wa al-
Ta'lim:[15] "Anak adalah cerminan kondisi
keluarganya. Semua hal yang terjadi dalam keluarga, baik yang positif maupun
yang negatif dan semua hal yang didengar dan dilihat, akan mem- bentuk
kepribadian anak. Karena itu, usaha serius sang Ibu me- rupakan hal terpenting
dalam pendidikan anak. Barangsiapa hanya getol mengurusi harta-bendanya, lupa
mengurusi anak- nya, maka sama dengan tidak mempedulikan anak dan harta benda
sekaligus.
Pendidikan
keutamaan (nilai) tidak cukup diselenggarakan dalam sekolah, melainkan perlu
ditanamkan pada diri anak se- menjak ia mulai bisa komunikasi. Orang yang
pertama kali di- tuntut menjalankan tugas ini tentunya adalah orang yang intens
bergaul dengan anak, dan orang yang perilaku, ucapan dan pe- rangainya turut
mempengaruhi pribadi anak". Kemudian bila dikaitkan dengan hal-hal yang
diperlukan oleh pendidikan, yaitu: perhatian, keseriusan, simpati dan empati,
maka jelaslah pendidikan tidak akan sempurna hanya mengandalkan fitrah Ilahi
yang ada pada anak. Tidak dapat dipungkiri adanya pengaruh dari relasi personal
dengan sesama pada diri anak, bahkan tata pergaulan relasi personal ini
merupakan sumber utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan
dan moral anak. Karena itu, para ahli pendidikan muslim menuntut perlunya anak
mempunyai peer-group yang baik di tempat pembelajarannya, mengingat dari sini
ia akan banyak menyerap pelajaran dan mendapatkan rangsangan afektif-positif.
Kondisi
kesendirian anak dapat berdampak pada kejenuhan. Seorang guru bila mau berusaha
mewujudkan suasana hu- bungan yang kondusif antar anak, akan berguna dalam
meng- hilangkan kebosanan anak dan memupuk semangat belajarnya. Suasana
demikian membangun kompetisi positif antar anak. Keakraban bercengkerama dapat
meretas kreasi pikir dan me- nyelesaikan problem ketidakpahaman. Sebab, dalam
suasana seperti ini setiap anak secara enak dapat mengungkapkan buah pemikiran
yang cemerlang dan pengalaman uniknya, sehingga pembicaraan antar mereka
menjadi penuh kesan dan tak ter- lupakan. Selanjutnya, anak-anak saling cocok
dan saling kun- jung. Mereka saling menghormati dan memenuhi hak-kewajib- an.
Ini semua merupakan pemicu teijadinya kompetisi sehat, dorongan berprestasi dan
tukar-pikiran. Keadaan demikian ber¬guna bagi pembinaan moral, fisik, mental
dan disiplin anak [Ibnu Sina dalam Risalat al-Siyasiyah].
Namun,
perhatian para ahli pendidikan Muslim terhadap lingkungan keluarga dan sekolah
anak belum mengarah pada concern pengawasan dan kepedulian terhadap hak-hak
alamiah anak dalam bermain dan bercanda-ria. Diceritakan bahwa Abu al-Qasim
Abdullah bin Muhammad pernah bertanya kepada salah seorang guru pada masanya,
yaitu Mu'aikib bin Abi al- Azhar:
"Bagaimana
keadaan anak-anak didikmu di kuttabl" Mu'aikib menjawab: "Suka sekali
bermain?" Berkata Abu al-Qasim: "Jika tidak demikian, kalungkan saja
'jimat' dileher mereka!"
Para
penyusun Kitab al-Irsyad zua al-Ta'lim mengemukakan,
"Sangat
heran, orang-orang pada umumnya senang terhadap anak- anak yang tidak banyak
"ulah" dan tidak suka bermain. Mereka menganggap anak-anak seperti
ini adalah cerdas dan baik. Mereka tidak menyadari bahwa anak-anak yang pendiam
itu sangat mung- kin sedang mengalami sakit (kelainan) fisik atau kejiwaan yang
pada akhirnya nanti bisa mengganggu kehidupannya, kalau tidak segera diatasi dengan
latihan fisik dan olah-raga sejak keciI.[16]
Di
antara hal lain yang menarik dalam persoalan subjek didik adalah perhatian dan
kesadaran para ahli pendidikan Muslim bahwa anak sudah mempunyai kepekaan
terhadap tindakan diskriminatif (pilih-kasih) yang diterimanya. Karena itu,
Ibnu Jama'ah menuntut para guru untuk tidak secara terang- terangan bertindak
pilih-kasih kepada para murid mereka, yaitu bertindak lebih memperhatikan atau
lebih menyayangi sebagian murid atas murid yang lain, padahal mereka relatif
sama dalam hal prestasi, keseriusan dan kepatuhan, Hal ini akan bisa
mengakibatkan timbulnya kebencian di kalangan mu¬rid. Sekiranya sebagian murid
yang lebih diperhatikan dan di- sayang oleh guru itu mempunyai prestasi dan
keseriusan di atas murid yang lain, maka sikap guru demikian, hendaknya di-
perlihatkan kepada para murid sebagai wujud penghargaan atas prestasi dan
keseriusan, sehingga bisa mendorong sema- ngat saling berlomba di antara mereka
[Ibnu Jama'ah dalam Tadzkiratal-Sami'].
Demikian
halnya, para ahli pendidikan Muslim menganggap bahwa sanksi (hukuman) dalam
pendidikan haruslah merupa- kan sanksi edukatif, yakni sanksi yang bersifat dan
dimaksud- kan untuk memperbaiki, bukan untuk menghancurkan keperca- yaan dan
harga diri murid. Karena itu, al-Ghazali mengakui hak guru dalam mencegah
subjek didiknya dari akhlak buruk, namun perlu dilakukan dengan cara
sepersuasif mungkin, de¬ngan tindakan afektif, bukan dengan cara mengolok-olok,
sebab cara ini justru akan mengurangi .kharisma guru, memancing tin¬dakan
saling menghujat dan memusuhi [al-Ghazali dalam Ihya']. Ibnu Sina mempunyai
pendapat yang senada dengan
sanksi
edukatif itu, sewaktu ia menuntut guru untuk menjauh- kan subjek didiknya dari
akhlak tercela dan kebiasaan buruk melalui cara tarhih, targhib, persuasi,
pemalingan, pengarahan, pemujian dan peneguran setepat mungkin. Sekiranya guru
ter- paksa memberi sanksi dengan pukulan tangan, hendaklah per- tama kali
berupa pukulan yang tidak membahayakan, sebagai- mana disinggung para teosof,
setelah sebelumnya memberikan teguran keras. Sebab, bila pukulan pertama sangat
keras, anak menjadi ketakutan sekali dan mendendam. Berbeda bila pu¬kulan
pertama tidak terlalu keras, anak akan bisa sadar dan tidak phobia [Ibnu Sina
dalam Risalat al-Siyasah].
Dalam
kerangka pemikiran seperti itu, Ibnu Jama'ah mem- buat urutan sanksi edukatif
ke dalam empat tingkat yang dike- nakan pada subjek didik (anak) di kala ia
melakukan hal yang tidak pantas, berupa melakukan perbuatan yang diharamkan,
dimakruhkan, hal yang mengakibatkan kerusakan (dampak ne- gatif) atau hal yang
mangakibatkan pengabaian tugas, tidak so- pan terhadap guru, banyak bicara,
salah bergaul dan lain seba- gainya. Langkah-langkah guru dalam memberikan
sanksi edu¬katif adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan
sikap melarang di hadapan anak yang ber- sangkutan, tanpa menunjuk hidung
2. Jika
si anak masih belum berhenti, guru melarangnya secara personal
3. Jika
anak itu masih juga belum berhenti, guru melarangnya dengan tegas dan teguran
keras di hadapan anak-anak yang lain
4. Jika
anak itu masih saja belum berhenti, maka guru boleh menghukum dan
mengucilkannya, agar jera dan tidak sam- pai mengganggu temannya yang lain
[Ibnu Jama'ah dalam Tadzkirat al-Sami'].
G.
METODE PENGAJARAN
Para
ahli pendidikan Muslim sangat memperhatikan persoalan metoda pengajaran dan
menganggapnya sebagai hal strategis bagi keberhasilan proses pembelajaran. Kita
dapat menemukan bukti perhatian besar mereka dalam kritik yang dilontarkan oleh
Ibnu Khaldun terhadap metoda pembelajaran yang digu- nakan pada fnasanya. Ibnu
Khaldun berkata dalam al- muqaddimah,
"Para
guru dalam proses pembelajaran awal-kali mengajarkan if'iftateri-materi sulit
dan mengharuskan murid-muridnya untuk memecahkannya, mereka beranggapan bahwa
hal demikian merupa- kan hal positif bagi pembelajaran. Selain itu, mereka
memadukan- Iffa dengan ragam disiplin lain yang kompleks, sementara murid-murid
belum siap mencemanya. Padahal kesiapan dan kemampuan IJmencema itu berkembang
gradual. Murid pada awalnya hanya mampu memahami sebagian saja, melalui analogi
dan contoh kongkrit, lalu kesiapan dan kemampuan mencerna berkembang sedikit
•ivdemi sedikit seiring dengan pengulangan-pengulangan"
Dengan
demikian terdapat beberapa poin penting yang bisa disimpulkan menyangkut metoda
efektif pengajaran ya.ng di- inginkan para ahli pendidikan Muslim, sebagai
berikut:
1. Mereka
.menuntut guru untuk berusaha seserius mungkin mendekatkan materi pengetahuan
yang diajarkan dengan jupemahaman subjek didik seiring dengan perkembangan usianya,
tingkat kematangan bahasa dan kecerdasannya. Kemudian secara bertahap
pengajaran berawal dari hal yang sederhana menuju hal yang kompleks, dari hal
yang akrab dengan pengalaman subjek didik menuju hal yang sing darinya. Ibnu
Jama'ah mengatakan, "Guru dituntut untuk berusaha serius mengajar subjek
didik sesuai dengan tingkat pematamannya, jangan sampai guru mengajarkan materi
tidak Bgroporsional dan tidak dapat dipahapai. subjek didiknya. Kalau memang
perlu penjabaran, pengulangan dan pemberian contoh, maka ia harus bersedia
melakukannya".
2. Untuk
mericapai tujuan ini diperlukan tiga tahapan sistemik, yakni: a) guru
menyampaikan problem inti dari setiap bab kajian dengan elaborasi yang bisa
dipahami oleh subjek di- dik, agar secara umum diperoleh gambaran utuh keselu-
ruhan bab kajian b) kemudian setelah rampung akhir bab kajian, dilanjutkan ke
bab kajian berikutnya secara bertahap dengan mengulas ragam variasi pendapat
yang berkembang secara elaboratif-diskursif. c) guru menyelesaikan dan men-
jelaskan problem-problem pelik yang tak terpecahkan agar subjek didiknya bisa
mencapai. penguasaan materi yang ar- gumentatif [Inilah yang diistilahkan oleh
Ibnu Khaldun dengan al-ta'lim al-mufid].
3. Setelah
solidasi tahap-tahap pemantapan dalam penguasaan dan pengembangan materi pembelajaran
subjek didik, guru perlu menyusun strategi lanjut berupa diskusi, dialog-dis-
kursif, adu-argumentasi. Dengan strategi ini, materi pembel¬ajaran yang telah
dikuasai berubah menjadi sebuah "peng- alaman" pribadi yang teruji.
Sebab, "efek diskusi dan dialog- diskursif itu jauh lebih kuat
dibandingkan dari efek peng¬ulangan" [kata al-Thusi]
Bukan
hanya karena alasan efek pengembangan materi kajian yang menyebabkan strategi
diskusi dan dialog-diskursif dinilai penting dalam pembelajaran, melainkan juga
karena para ahli pendidikan Muslim menganggap strategi ini sangat efektif untuk
pembentukan dan pembinaan kepribadian subjek didik, dan pembiasaan untuk
bersikap objektif-kritis. Menurut al- Thusi, penuntut ilmu perlu berdiskusi dan
berdialog-diskursif. Ia seharusnya mempunyai keinsafan (ketulusan mengakui ke-
kurangan diri) dan kesediaan berefleksi, sehingga dapat me- ngendalikan diri
dan tidak emosional. Sebab, diskusi dan dialog-diskursif pada dasarnya adalah
musyawarah, dan mu- syawarah memerlukan hal tersebut. Diakui arti penting pengulangan
dan penghafalan bagi pemantapan pengetahuan yang diperoleh, namun dalam rangka
penggalian kebenaran, maka refleksi dan keinsafan sangat diperlukan, bukan
emosi dan ke- gaduhan. Menurut Ibnu Jama'ah;
"Sewaktu
guru selesai menjelaskan materi pelajaran, patut kiranya ia mengajukan beberapa
pertanyaan yang terkait kepada para pe- serta didiknya untuk mengetahui tingkat
pemahaman dan pengu- asaan mereka. Jika didapati ada yang sudah tinggi tingkat
pema¬haman dan penguasaannya, guru perlu mengapresiasinya. Jika di¬dapati ada
yang masih belum menguasai dan memahami, guru ber- sedia melakukan
remedi".
Perlunya
guru melontarkan pertanyaan terkait, mengingat peserta didik seringkali merasa
malu jika berkata belum paham. Guru hendaknya menghindari bertanya kepada
peserta didiknya: "apakah kamu sudah paham?"kecuali bila ia merasa peserta
didiknya tidak akan menjawab "ya", padahal belum pa¬ham. Bila tidak
demikian, guru perlu menghindari pola perta-nyaan seperti itu.
Macam-macam Metode dalam Pendidikan Islam
Sebagai ummat yang telah dianugerahi Allah Kitab AlQuran yang lengkap
dengan petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal
sebaiknya menggunakan metode mengajar dalam pendidikan Islam yang prinsip dasarnya dari Al Qur’an dan Hadits.
Diantara metode- metode tersebut adalah[17]:
a.
Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyampaian inforemasi melalui penuturan secara
lisan oleh pendidik kepada peserta didik. Prinsip dasar metode ini terdapat di
dalam Al Qur’an :
Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman
di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana)
kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri (hasil kezalimanmu) itu hanyalah
kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami
kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Q.S. Yunus : 23)
Metode ceramah adalah cara menyampaikan suatu pelajaran tertentu dengan
jalan penuturan secara lisan kepada anak didik atau khalayak ramai. Metode ceramah ini pernah dilakukan oleh
Rasulullah ketika turun wahyu yang memerintahkan untuk dakwah secara
terang-terangan, seperti hadits berikut:
Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Sa’id dan Zuhair ibn Harb, berkata,
“Menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Abdul Malik ibn ‘Umair, dari Musa ibn
Thalhah, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Tatkala diturunkan ayat ini: “Dan
peringatkanlah para kerabatmu yang terdekat(Q.S. Al-Syu’ara:125), maka
Rasulullah SAW memanggil orang-orang Quraisy. Setelah meraka berkumpul,
Rasulullah SAW berbicara secara umum dan khusus. Beliau bersabda, “Wahai Bani
Ka’ab ibn Luaiy, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai Bani ‘Abdi Syams,
selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai Bani ‘Abdi Manaf, selamatkanlah
diri kalian dari neraka! Wahai Bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari
neraka!, wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari neraka! Karena aku tidak
kuasa menolak sedikitpun siksaan Allah terhadap kalian. Aku hanya punya
hubungan kekeluargaan dengan kalian yang akan aku sambung dengan
sungguh-sungguh”. (H.R. Muslim )
Hadits tersebut menjelaskan bahwa menyampaikan suatu wahyu, atau mengajak
orang lain untuk mengikuti ajaran yang telah ditentukan, bahkan memberi
peringatan kepada siapapun dapat menggunakan metode ceramah. Seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW berbicara secara umum dan khusus dihadapan
orang-orang Quraisy dengan tujuan mengajak orang-orang Quraisy dan lainnya
untuk menyelamatkan diri dari neraka dengan usahanya sendiri, karena Rasulullah
tidak kuasa menolak sedikitpun siksaan Allah terhadap umatnya.
Berdasarkan hadis rasulullah diatas dapat diketahui bahwa ceramah merupakan
salahsatu metode penyampaian informasi kepada pihak lain, namun jika dikontekan
dengan keadaan saat sekarang ini metode ceraamah dirasa kurang maksimal dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Maka dari pada itu seharusnya diperlukan metode
lain yang bervariasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga tujuan
pembelajaran tercapai secara maksimal.
b.
Metode Tanya jawab
Metode Tanya jawab adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru
mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah
diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca. Prinsip dasar metode ini terdapat
dalam hadits Tanya jawab antara Jibril dan Nabi Muhammad tentang iman, islam,
dan ihsan. Selain itu ada juga hadits yang lainnya seperti hadits berikut ini :
Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr
yaitu ibn Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah ibn
Abdurrahmân dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda; Bagaimana pendapat
kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang di antara kalian. Ia
mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana pendapat kalian? Apakah masih akan
tersisa kotorannya? Mereka menjawab, tidak akan tersisa kotorannya sedikitpun.
Beliau bersabda; Begitulah perumpamaan salat lima waktu, dengannya Allah
menghapus dosa-dosa. (Muslim, I: 462-463)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh abu hurairah yang berbunyi:
dari Abu Hurairah r.a Berkata : ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasul. Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak saya hormati? Beliau
menjawab : “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian
yang lebih dekat dan yang lebih dekat dengan kamu (HR. Muslim)
Dari penjelasan hadist diatas, Rasulullah menggunakan metode tanya jawab
sebagai starategi pembelajarannya. Beliau sering menjawab pertanyaan dari
sahabatnya ataupun sebaliknya. Metode tanya jawab ini sendiri ialah metode
pembelajaran yang memungkinkan adanya komunikasi langsung antara pendidik dan
peserta didik.sehingga komunikasi ini terlihat adanya timbal balik antara guru
dengan siswa. Tujuan terpenting dari metode tanya jawab ini adalah para guru
atau pendidik dapat mengetahui sejauhmana para murid dapat mengerti dan
mengungkapkan apa yang telah diceramahkan. Dengan menggunakan metode tanya
jawab maka akan tercipta suasana interaktif antara pemberi informasi dengan
penerima informasi sehingga dapat dikatakan juga dengan demnggunakan metode
tanya jawab akan tercipta hubngan timbal balik anatar pendidik dengan pesrta
didik, sehingga dalam proses pembelajaran terjadi simbiosis mutualisme dlam
artian siswa berhasil menangkap intisarinya dan pendidik berhasil memahamkan
materinya sehingga akan tercipta kualitas pembelajaran yang maksimal
c.
Metode Diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara penyajian/ penyampaian bahan pelajaran
dimana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik/ membicarakan dan
menganalisis secara ilmiyah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau
menyusun berbagai alternative pemecahan atas sesuatu masalah. Abdurrahman
Anahlawi menyebut metode ini dengan sebutan hiwar (dialog)[18].
Prinsip dasar metode ini terdapat dalam Al Qur’an Surat Assafat : 20-23
yang berbunyi :
Dan mereka berkata: ”Aduhai celakalah kita!” Inilah
hari pembalasan.Inilah hari keputusan yang kamu selalu mendustakannya(kepada
Malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman
sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah,Selain Allah;
Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Q.S. Assafat : 20-23)
Diskusi pada dasarnya adalah tukar menukar informasi dan unsur pengalaman
secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas
dan lebih teliti tentang sesuatu atau untuk mempersiapkan atau merampungkan
keputusan bersama. Jika ditelaah dari bebarapa riwayat hadist, Rasulullah
adalah orang yang paling banyak melakukan diskusi. Metode diskusi ini sering
dilakukan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya untuk mencari kata sepakat.
Tetapi walaupun Nabi sering melakukan dan membolehkan mendidik dengan metode
diskusi akan tetapi dalam pelaksanaanya harus dilakukan dengan hikmah ataupun
dengan bijak agar segala permasalahan dapat diselesaikan dengan baik dan tanpa
ada permusuhan, karena metode diskusi berbeda dengan debat. Jika debat adalah
perang argumentasi, beradu paham dan kemampuan persuasi dalam memenangkan
pendapatnya sendiri. Maka dalam metode diskusi diharapkan semuanya memberi sumbangsih
sehingga semua bisa paham dan dimengerti secara bersama.
Dari hadis jika dikaitkan dengan
proses pembelajaran dalam ranah pendidikan, metode diskusi juga merupakan
salahsatu metode yang dianjurkan dalam hal memahamkan peserta didik. Peserta
didik akan lebih aktif inovatif jika dalam proses pembelajaraannya terdapat
aspek musyawarah atau diskusi dalam hal memecahkan masalah demi tercapainya
solusi dalam hal pembelajaran. Dengan menggunakan metode yang bermacam macam
siswa akan kehilangan kejenuhannya sehingga kenyamannnya dalam proses
pembelajaran akan berimbas pada ketercapaian tujuan pembelajaran yang sudah
dirumuskan sebeluymnya.
d.
Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru
memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut
diperiksa oleh gur dan murid harus mempertanggung jawabkannya.
e.
Metode Demontrasi
Metode demontrasi adalah suatu cara mengajar dimana guru mempertunjukan
tentang proses sesuatu, atau pelaksanaan sesuatu sedangkan murid
memperhatikannya. Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits yang berbunyi
Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhâb
katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami mendatangi
Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama
(dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw adalah seorang yang penyayang dan
memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada
keluarga, beliau menanyakantentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami
memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan
tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau
menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana
kalian melihat aku salat. (al-Bukhari, I: 226)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَافِلُ اليَتِيْمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الجَنَّةِ
وَأَشَارَ
Dalam dunia pendidikan sekarang ini, para pendidik dianjurkan sekali untuk
bisa meneladani Rasulullah SAW dalam menjelaskan pelajaran dengan menggunakan
alat peraga dalam metode pengajarannnya. Metode peraga ini sekarang lebih
dikenal dengan sebutan media pendidikan. Media pendidkan adalah suatu benda
yang dapat dindrai, khususnya penglihatan dan pendengaran baik yang terdapat
dalam maupun luar kelas yang digunakan sebagai alat bantu penghubung dalam
proses pembelajaran. Media pendidikan bertujuan untuk meningkatkan efektifitas
belajar siswa. Media pendidikan mengandung beberapa beberapa aspek-aspek yaitu
sebagai alat atau sebagai teknik yang berkaitan erat dengan metode pengajaran.
f.
Metode demonstrasi dan eksperimen
Suatu cara mengajar dengan menyuruh murid melakukan suatu percobaan, dan
setiap proses dan hasil percobaan itu diamati oleh setiap murid, sedangkan guru
memperhatikan yang dilakukan oleh murid sambil memberikan arahan. Hadis
di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah
dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut al-Asqalani, hadis ini mengajarkan
sahabat tentang tata cara tayammum dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444)
Sahabat Rasulullah saw. melakukan upaya pensucian diri dengan berguling di
tanah ketika mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya
Rasulullah saw. memperbaiki ekperimen mereka dengan mencontohkan tata cara
bersuci menggunakan debu. Metode demonstrasi bukanlah sebuah metode baru dalam
kegiatan pembelajaran. Metode ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Berdasarkan hadits diatas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah SAW.
senantiasa memberi contoh terlebih dahulu kepada umatnya sebelum beliau
memberikan perintah-perintah beribadah kepada mereka, yaitu melalui pemberian
pendidikan dan pelatihan-pelatihan khusus sebelum pelaksanaan kegiatan tertentu
dimulai.
Dalam dunia pendidikan sekarang ini,
para pendidik dianjurkan sekali untuk bisa meneladani Rasulullah SAW dalam
menjelaskan pelajaran dengan menggunakan alat peraga dalam metode pengajarannnya.
Metode peraga ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan media pendidikan. Media
pendidkan adalah suatu benda yang dapat dindrai, khususnya penglihatan dan
pendengaran baik yang terdapat dalam maupun luar kelas yang digunakan sebagai
alat bantu penghubung dalam proses pembelajaran. Media pendidikan bertujuan
untuk meningkatkan efektifitas belajar siswa. Media pendidikan mengandung
beberapa beberapa aspek-aspek yaitu sebagai alat atau sebagai teknik yang
berkaitan erat dengan metode pengajaran.
g. Metode Amsal/perumpamaan
Yaitu cara mengajar dimana guru menyampaikan materi pembelajaran melalui
contoh atau perumpamaan Prinsip metode ini terdapat dalam Al Qur’an: Perumpamaan mereka adalah seperti
orang yang menyalakan api Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat. (Q.S. Albaqarah : 17)
Perumpamaan dilakukan
oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran untuk memberikan pemahaman
kepada sahabat, sehingga materi pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini
dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain,
mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang
digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat
dengan makna, sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada
yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi
sesuatu yang sangat jelas.
h.
Metode Targhib dan Tarhib
Yaitu cara mengajar dimana
guru memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap
kebaikan dan hukuman terhadap keburukan agar peserta didik melakukan kebaikan
dan menjauhi keburukan. Prinsip dasarnya terdapat dalam hadits berikut ini :
Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku Sulaiman
dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari Abu Hurairah,
ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia mendapat syafa’atmu
pada hari kiamat?, Rasulullah saw bersabda: Saya sudah menyangka, wahai Abu
Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya tentang hadis ini seorangpun yang
mendahului mu, karena saya melihat semangatmu untuk hadis. Orang yang paling
bahagia dengan syafaatku ada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ”Lâilaha
illa Allah” dengan ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I:
49)
Hadis di atas tergolong
syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah hâfiz, şiqah
dan şiqah azaly. Memberikan hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak
menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tampa kehadiran
imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. Dengan demikian Rasulullah saw.
memberi hukuman mental kepada seseorang yang berbuat tidak santun dalam
beribadah dan dalam lingkungan social.
Sanksi dalam pendidikan
mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar
kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan
dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik.
Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak
memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan
mendidik, bukan balas dendam.
i.
Metode pengulangan (tikror)
Yaitu cara mengajar
dimana guru memberikan materi ajar dengan cara mengulang-ngulang materi
tersebut dengan harapan siswa bisa mengingat lebih lama materi yang disampaikan. Dengan tujuan eningkatkan pemahaman terhadap
apa yang dipelajarinya.
H.
PENGAJAR (GURU)
Para
ahli pendidikan Muslim menyadari bahwa proses pembelajaran itu merupakan proses
interaksi rasional dan hidup antara pendidik dan peserta didik antara orang
yang sudah "dewasa" dan orang yang belum dewasa. Karena itu, mereka
menetapkan dua prinsip dasar edukatif yang sangat penting. Pertama, kitab
(buku) tidak bisa menggantikan posisi guru dalam pengajaran. Mereka mengecam
gejala pemosisian buku sebagai guru. Imam al-Syafi'i pernah mengatakan,
"Barangsiapa menggeluti ilmu hanya berdasar pada lembaran-lembaran buku,
maka ia berarti telah menyia-nyiakan banyak hal".[19] Berpijak pada prinsip dasar ini, para ahli
pendidikan Muslim mengakui urgensi peran guru dalam proses pembelajaran. Ikhwan
al-Shafa mengatakan, nSe- mua orang pada awalnya tidak mempunyai pengetahuan
apa- apa, karena itu masing-masing membutuhkan guru (pembim- bing) dalam proses
belajar, pembinaan moral dan keyakinan- nya". Dengan mempercayakan tugas
penting pendidikan gene- rasi muda kepada sosok guru, maka banyak harapan dan
per- syaratan yang diberikan bagi seorang guru yang diamanati .mengajar, yaitu
kesempurnaan pribadi, baik dalam kapasitas keilmuan, moral maupun perangainya.
Ibnu
Sina dalam risalah al-Siyasah mengatakan, "Sepantasnya bila seorang
pendidik itu cerdas, agamis, bermoral, simpatik, kharismatik dan pandai membawa
diri. Sebelum tampil di de¬pan para murid, hendaknya ia terlebih dulu tampak
cerdas, bersih dan berkepribadian". Ikhwan al-Shafa menetapkan sya- rat:
cerdas, bermoral dan obyektif, bagi guru. Dikatakan, "Keta- huilah wahai
Saudaraku!, termasuk hal yang penting bagi keba- hagiaanmu adalah mendapatkan
guru yang cerdas, berwatak, bermoral, tulus-ikhlas, beretos keilmuan dan tidak
fanatik buta". Posisi guru, bagi al-Ghazali, sedemikian tinggi menggan-
tikan posisi Rasulullah dalam membimbing umat manusia, di mana Rasul adalah
guru pertama umat Islam. Karenanya, ia menetapkan persyaratan tertentu bagi
guru, yaitu hendaknya guru jauh dari sifat rakus dunia dan gila kehormatan. Guru
ber- sedia melatih dirinya untuk tidak banyak makan, tidak banyak bicara, tidak
banyak tidur, memperbanyak shalat, sedekah dan puasa. Guru menjadikan akhlak
yang baik sebagai perangainya, seperti sabar, syukur, tawakkal, yakin, pemurah,
qana'ah, pen- diam dan kalem (tidak grusa-grusu). Jika persyaratan-persya-
ratan ini dipenuhi, maka sosok guru bersangkutan adalah cer- jninan pribadi
Nabi yang patut diteladani [al-Ghazali dalam Ayyuh al-Walad].
Dengan
pandangan yang demikian tinggi terhadap sosok dan profesi guru, al-Ghazali
meminta guru menyayangi peserta di¬dik, bagaikan anak kandung sendiri. Demikian
halnya, al-Gha- zali menuntut agar tidak ada perseteruan dan dendam diantara
sesama guru, karena akan berdampak negatif pada diri peserta didik. Al-Ghazali
berkata,
"Seorang
guru yang ahli dalam suatu disiplin ilmu tertentu hen- daknya tidak mencemooh
disiplin ilmu lain, misalnya guru ilmubahasa mencemooh disiplin ilmu fikih,
guru ilmu fikih mencemooh disiplin ilmu hadis dan tafsir yang dinilainya hanya
bersifat repli- katif, tidak ada penalaran. Guru ilmu kalam mencemooh disiplin
ilmu fikih yang dinilainya hanya sebagai ilmu cabang dan hanya berisi seputar
"darah" perempuan, berbeda dengan ilmu kalam yang berbicara tentang
sifat-sifat Tuhan. Tindakan-tindakan sema- cam ini merupakan akhlak tercela
yang harus dijauhkan dari diri peserta didik" [lihat, Ihya' Ulumuddin].
Adanya
pergumulan praktis dengan kehidupan melahirkan konklusi edukatif yang sangat
penting dalam pemikiran para ahli pendidikan Muslim, yaitu imperasi penyiapan
individu un- tuk berpartisipasi-aktif dalam kehidupan ekonomi kemasyara- katan
dengan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial bersama. Berdasar hal ini, Ibnu
Sina mengharuskan pengarahan anak, se- telah berhasil memahami al-Qur'an dan
menguasai dasar-dasar kebahasaan, menuju penguasaan keterampilan (skil-teknik)
se- suai dengan minat dan bakatnya. Kemudian di saat anak telah terampil, maka
sebagai pembinaan lanjut adalah di beri tugas atau pekerjaan yang menghasilkan
laba. Dengan hal ini sang anak akan mendapatkan dua manfaat: pertama, bila ia
telah me- rasakan keasyikan kerja sesuai dengan ketrampilannya dan me¬mahami
benar keuntungan yang dihasilkannya, maka ia akan terdorong untuk terus
berkarya dan berprestasi. Kedua, ia akan menjadi terbiasa [enjoy) untuk mencari
nafkah hidup, sebelum benar-benar saatnya tertuntut untuk itu [Ibnu Sina dalam
Risalah al-Siyasah
Tuntutan
para ahli pendidikan Muslim terhadap perlunya pengarahan peserta didik untuk
berpartisipasi-aktif dalam kehi¬dupan ekonomi masyarakat membawa pada keharusan
diversi-. fikasi pengajaran, agar masing-masing peserta didik dapat bel- ajar
hal yang sesuai dengan minat dan bakatnya sebagai bekal terjun ke dalam kancah
kehidupan sosial. Mereka menetapkan keharusan bagi guru untuk menyingkap
potensi-potensi yang dimiliki peserta didiknya dan mengarahkannya, mengingat
ti¬dak semua jenis ketrampilan itu bisa dengan mudah dikuasai peserta didik,
melainkan hanya keterampilan yang sesuai dengan bakatnva. Sekiranva jenis-jenis
ketrampilan dan profesi dengan mudah bisa dikuasai hanya semata-mata karena
ajari tanpa ada kaitannya dengan bakat, niscaya tidak akan ada orang yang tidak
berketerampilan dan semua orang tentunya akan dapat memilih keterampiian dan
profesi yang canggih. Oleh karena itu, guru di tun tut untuk pandai-pandai
memilih- kan suatu keterampiian yang coeok dengan (bakat) peserta diknya.
Hendaknya guru m elakukanasesmen terhadap kecerdasan, minat dan bakat peserta
didiknya. Dengan begitu, guru akan mengetahui seberapa besar peluang yang
dimiliki peserta didik untuk bisa menguasai keterampiian yang akan nya. Lebih
jauh, pengajaran keterampiian benar-benar akan mendapatkan relevansi
"psikologis", dan benar-benar efektif dan efesien [Ibnu Sina da lam
Risalah]
DAFTAR
PUSTAKA
George Schat Q., Muallafat Ibnu Sina,
Kairo: Dar al-Ma ‘arif, 1950.
Ibnu Jama'ah, Tadzkirat al-Sami' zoaal-Mutakallim wa al-Muta'allim, belum
diterbitkan.
Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Kairo:
al-Maktabah al-Tijariyah,
Aly, Hery Noer, 1999, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.
II, Jakarta: Logos.
Azra, Azyumardi, 2002, Pendidikan Islam: Tradisi Dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Jalaluddin, H, 2003, Teologi Pendidikan, Cet. 3, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
R, Marzan, 2007, Pendidikan Sepanjang Hayat Dalam Islam,
Banda Aceh: Pena.
Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan Profetik, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
1327 H.
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq zva Tathhir al-A 'raq,
Beirut: tnp., 1961.
Ibnu Sina, Risalah al-Siyasah.
Ikhwan al-Shafa, Rasa’il al-Shafa, Kairo: tnp., 1928.
[1] Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV,
( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002 ), hal. 5.
[2] H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. 3, (
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal. 70-71
[7] http://makalahnih.blogspot.co.id/2014/09/makalah-pengertian-pendidikan-islam.html,
diakses pada tanggal 2 Oktober 2016, pukul 13.30
[9]Ahmad al-Syalabi, Tnrikh
al-Tnrbiyah al-lslamiyah, cet. II, (Kairo: tnp., 1961), him. 174.
[10] Pernyataan al ghazali ini
dikutip penulis dari Ihya Ulum Al-din
dan Ayyuha Al Walad.
[11] Ibnu Khaldun, Al- Muqaddimah,
Hlm.535
[12] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-
Akhlaq
[13] Ibnu Khaldun, AL- Muqaddimah,
Hlm.533
[14] Ahmad Syalabi, Tharik Al
Tarbiyah al- Islamiyah, h,246
[15]
Kitab ini tidak diketahui pengarangnya yang berasal dari kelompok sufi,
kitab ini ditemukan oleh ahmad syalabi di perpustakaan turki, dan kemudian
dicuplik utuk kemudian dimasukkan kedalam bukunya tharikh al tarbiyah al
islamiyah
[16] Ahmad syahlabi, tharikh al-
tarbiyah al Islamiyah, hlm.262 dan 208
[19] Pendapat ini merupakan nasihat
“baru” bagi kalangan yang terlalu mengagungkan gagasan semisal: teknologi
pendidikan dan pengajaranterprogram dewasa ini. Mereka menilai bahwa
efektifitasnya telah melampaui peran alat pendidikan”konvensional” (termasuk
guru)
TEORI PENDIDIKAN ISLAM
Reviewed by Kharis Almumtaz
on
May 01, 2020
Rating:
